30 October 2012

Bahasa Indonesia dan Masalah Saya

Lama tidak menulis. Tunggu sebentar, saya mau membuat alasan:
1. Sibuk kuliah dan mengerjakan tugas
2. Sibuk kerja
3. Sibuk bermalas-malas ria
4. Sibuk menonton drama Korea
5. Sibuk memikirkan apa yang ingin ditulis
6. Tidak ada ide untuk menulis

Namanya juga alasan, sesuatu yang dibuat untuk alas, membenarkan semua perilaku.

Bingung? Saya juga.

***
Sebenarnya tidak ada alasan untuk tidak menulis dan seharusnya saya HARUS lebih giat menulis melihat rekor jumlah tulisan yang turun setiap tahunnya; menandakan tingkat kemalasan yang terus meningkat setiap tahun.

Namun karena sebuah artikel di majalah tentang bahasa Indonesia, saya menjadi tergerak untuk menuliskan sesuatu. Judul artikel itu:

"Nasib Bahasa Indonesia: Sudahkah Bahasa Ini Menjadi Tuan di Negeri Sendiri?"

Artikel tersebut membahas tentang pemakaian bahasa Indonesia yang semakin kacau dan hanya sebagian orang mau bersusah payah membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Tesaurus Bahasa Indonesia untuk menaati kaidah berbahasa yang benar. Belum lagi masalah bahasa Indonesia yang semakin tersingkir karena penuturnya lebih memilih untuk menggunakan bahasa asing agar terlihat lebih bergengsi. Masalah selanjutnya adalah kesulitan padanan bahasa asing, terutama bahasa Inggris, ke bahasa Indonesia karena perbedaan jumlah perbendaharaan kata dalam bahasa Indonesia, dan jangan lupa: tingkat kesulitan dalam mempelajari bahasa Indonesia.

Beberapa tugas kuliah mengharuskan saya untuk menerjemahkan jurnal ilmiah ke dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar agar dapat dirangkum dengan menggunakan kalimat yang saya buat sendiri. Karena bukan termasuk orang yang mempunyai kosakata bahasa Indonesia yang banyak, maka saya sempat beberapa kali harus memutar otak untuk menerjemahkan beberapa kalimat, seperti: "... the nature of business itself..." Saya sempat menerjemahkan kalimat itu menjadi: "... sudah menjadi sifat alami bisnis itu sendiri..," tetapi kemudian saya merasa janggal, sehingga saya kutip saja keseluruhan kalimat tersebut. Begitu juga ketika harus menerjemahkan istilah-istilah ekonomi ke dalam bahasa Indonesia dan ketika harus menyerap beberapa kata dalam bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. Ragu, apakah kata yang saya serap ini sudah ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Teringat juga tugas seorang dosen agar mencari padanan kata "efektif" dan "efisien". Saya menjawab "tepat waktu" dan "tepat guna". Ternyata ada yang lebih sepadan, "mangkus" dan "sangkil"! Belum lagi berbicara tentang bahasa gaul. Kata-kata yang sedang populer akhir-akhir ini, "Ciyus?", "Miapah?", "Enelan?" seakan-akan menjadi gaya bertutur bahasa yang harus dipakai. Gaya bicara seorang balita ini diadopsi menjadi bahasa gaul dan, menurut saya, akan merusak pemakaian bahasa Indonesia itu sendiri walaupun hanya sekedar tren sesaat.

***
Saya merasa kurang membaca buku-buku yang ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar sehingga merasa asing dengan bahasa Indonesia. Dulu, ketika masih menjadi "Anak Bahasa", saya rajin menyambangi perpustakaan daerah untuk membaca buku kumpulan artikel bahasa dari Kompas. Artikel-artikel tersebut membahas hal-hal seperti kesalahan berbahasa, kata yang seharusnya dipakai, perbandingan antara bahasa Indonesia dengan bahasa lain, sejarah suatu kata, dan sebagainya. Membosankan? Tidak, sama sekali tidak. Buku tersebut seakan memuaskan dahaga saya akan bahasa yang saya pakai sehari-hari: Bahasa Indonesia. Saya jadi rajin untuk mengoreksi bahasa yang dipakai teman-teman: China, bukan Cina; Orang Indonesia bukan Indon; tidak ada kata 'Pemimpin' tetapi 'Pimpinan'. 

Mencoba bertutur dan menulis memakai bahasa Indonesia yang baik dan benar menjadi tantangan tersendiri bagi generasi muda Indonesia. Contoh terdekat di lingkungan saya: kedua adik saya. Semua nilai ujian tiap semester mereka di mata pelajaran pengetahuan alam, sosial, bahasa Inggris selalu di atas sembilan, tetapi ketika pelajaran bahasa Indonesia, yang tercetak di lembar nilai adalah angka tujuh. Miris. Jangan lupakan saya sendiri: tulisan di blog ini rata-rata memakai bahasa campur-aduk. Karena tertohok oleh artikel yang saya baca tadi, saya kemudian memutuskan untuk menulis sesuatu dalam bahasa Indonesia, yang mungkin, sedikit baik dan benar.

***
Kemudian, apa yang harus dilakukan agar bahasa Indonesia menjadi tuan di rumah sendiri? Alih-alih menjadi tuan di rumah sendiri, sang empunya rumah pelan-pelan diusir. Arus globalisasi yang semakin besar membuat tata bahasa Indonesia semakin centang perenang, berantakan. Dalam satu kalimat terkadang pembicara menyisipkan beberapa kata dalam bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya, sehingga terdengar, aneh. Tetapi bagi orang yang sudah biasa mendengar (atau malah sering melakukan hal itu) kalimat-kalimat campur, hal tersebut adalah biasa.

Hal yang dapat dilakukan untuk dapat menjadikan bahasa Indonesia menjadi tuan di rumah sendiri adalah dengan berusaha untuk selalu memakainya dengan baik dan benar, walau terkadang terdengar repot. Saat menyajikan tugas di depan dosen, berusahalah untuk bertutur menggunakan kalimat tanpa kata bahasa asing. Rajin membuka kamus untuk menghafal kata baru dan memakainya dalam kalimat. Belajar bahasa apapun hal yang pertama kali harus dilakukan adalah menghafal perbendaharaan kata. Tidak mungkin untuk mempelajari bahasa Anda langsung mempelajari tata bahasa tanpa kosakata. Terakhir, miliki rasa bangga terhadap bahasa Indonesia. Menilik negara-negara tetangga, Korea, China dan Jepang yang bersikeras untuk memakai bahasa nasional mereka sendiri dalam bahasa pengantar di perguruan tinggi negara sehingga mau tidak mau kita lah yang harus mempunyai kompetensi dalam berbahasa negara tujuan agar dapat mengikuti kuliah. Mereka bangga atas bahasa mereka, menggunakannya dengan baik dan benar dan tidak merasa bahasa Inggris sebagai bahasa terhormat yang harus dipuja-puja sehingga meninggalkan akar bahasa mereka sendiri.

Susah? Siapa yang bilang bahasa Indonesia mudah? Kita hanya merasa mudah karena sudah bertutur bahasa Indonesia sejak bisa berbicara. Kemudian, bagaimana dengan penutur bahasa daerah yang bahkan tidak tahu bahasa Indonesia?

"KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGJOENJOENG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA"

Bukanlah hal yang mudah untuk berjanji menggunakan bahasa Melayu (akar bahasa Indonesia) untuk menjadi bahasa persatuan bangsa Indonesia. Pasti banyak yang susah menggunakan bahasa Indonesia dalam keseharian mereka. Untuk itulah ada pelajaran bahasa Indonesia di sekolah, walaupun tidak bisa bergantung sepenuhnya kepada sekolah. Menurut saya, biarlah hal tersebut menjadi keberagaman budaya. Negeri ini punya pemuda-pemudi hebat yang akan berusaha untuk bertutur dengan bahasa persatuan tanpa meninggalkan bahasa daerahnya.

Jangan pesimis! Ayo dudukkan sang Tuan di rumah sendiri! :)

14 October 2012

Coffee Princess and Her Kingdom

Oh, lama sekali tidak mem-posting sesuatu :3

"Life is like a cup of Espresso. Some people like it because its sweetness, some people curse because its bitterness" -Nadinez on #EnakBanget

Saya dapat keluarga baru :3, perkenalkan tempat kerja baru saya :3

EB Cafe
Iya, sudah sebulan lebih saya melakoni kerjaan ini: BARISTA. Ingat BARISTA not BARTENDER! :3 *nggak santai*

Tukang buat-buat kopi, bahasa lainnya. Mihihihihi.
Selalu saja kangen ke Pertamina Tower lantai 8, walau nggak ada shift untuk kerja. Rasanya ketemu teman-teman saja sudah senang. Bau kopi, senyuman, keramaian cafe. Pengobat hati banget! Belum lagi bule-bule ganteng dan cantik yang selalu nongkrong dan pesan menu yang sama. Sampai hapal :3

Perkenalkan, ada beberapa teman eBarista: Ivan Anggono, Sagita Kusuma~~, Faris Rachmadyo, Ajeng Ghina, Fadli Ariesta, Gigih a.k.a Angur, Meita a.k.a Meiimudd, dan Mbak Karina Yanisa a.k.a Mbak Nina :3 Udah deh, baru sebulan aja kami udah kayak seabad kenal. Rahasia-rahasia apa aja udah dibongkar. Ketahuan banget nih jadi eBarista hanya pelarian dari kehidupan cinta. *peace ya all* 

Saya dapat keluarga dan bisa terus bersanding dengan kopi. That's what I called paradise in earth. Jujur, yang didapat setiap bulan itu hanyalah bonus. Kepuasan untuk mengerjakan sesuatu yang disukai itu yang paling penting. Seperti yang aku katakan sebelumnya, the eBaristas are all addicted to coffee and always miss the highest cafe in town. Ntah sekedar lihat pemandangan dari lantai 8, atau mencari kopi, coklat, dan teh sisa. Wehehehehhe.

Ah, ngomong-ngomong, jangan lupakan pengunjung yang selalu ditunggu kedatangannya. Pak Dekan. Pak Dekan adalah salah satu pengunjung setia cafe. Pesanan beliau pun selalu sama: Cafe Latte dengan sedikiiit espresso.

Meet Gita and Ivan
I found love, in you: Gita, Ivan, Dyo, and Ghina.

Since only them that told me something about their love life, I just want to write about them, anonymously.

"...Cinta yang pergi itu bagaikan tato. Walaupun kamu berusaha menghilangkannya, tato itu tetap mempunyai bekas.."

"...Cinta itu, kadang tak perlu dikatakan. Tatapan saja sudah lebih dari seribu kata..."

"...Cinta itu, kadang harus direlakan agar hanya jadi kenangan, terlalu kabur untuk dilihat, terlalu jauh untuk digapai. Berharap waktu akan mempertemukan kembali..."

"...Kadang harus memaksakan perpisahan, karena berharap suatu hari nanti akan ada lagi pertemuan yang membuat cinta itu kekal..."

"...Memandangmu, sebenarnya menyakitkan. Karena aku tahu kau bukan milikku. Karena keterlambatanku memahami sinyal darimu..."

"...Cinta itu, terima kasih, karena ada cafe ini, cinta baruku..."

***
Hayo, kira-kira ini inti dari percakapan siapa yaa? :D

***

Yang jelas saya merasa menjadi seorang Coffee Princess. Mengapa? Entahlah. Bagai Putri yang dikelilingi barang kesukaannya: kopi. Merasa dapur cafe adalah bagian dari kerajaan, dan selalu bisa melakukan sesuatu yang disukai, kemudian bersama orang yang disayangi. It is paradise :)

Jangan lupa ke Cafe EB juga ya :D Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada, Pertamina Tower lt.8 :)

My specialty? Order Cafe Granita or Hazelnut Latte Ice :9

Next Destination : Malaysia

Twin Tower :)


10 October 2012

Blessings

Saya termasuk orang yang banyak maunya.
Persis seperti lagu pembuka anime yang paling saya suka, Doraemon, setiap jam 9 WITA dulu.

"Aku ingin begini, aku ingin begitu
Ingin ini, ingin itu banyak sekali
Semua, semua, semua
Dapat dikabulkan~~"


Tentunya bukan dengan kantong ajaib, tapi dengan izin Allah SWT.

Setelah lima semester, dan semester ke-enam memutuskan untuk menyimpan keinginan itu dalam hati saja, semester ke-tujuh memutuskan untuk iseng mendaftar daripada tidak sama sekali -nothing to lose, akhirnya Allah mengabulkan keinginan saya, ketika saya sudah seperti tidak mengharapnya lagi.

Exchange program. Exchange Program!

Benar-benar hari yang tidak terduga, sama sekali. Jum'at Barokah, Good Friday.

Hari dimulai dengan saya berkutat membaca jurnal dan merangkumnya. Jam menunjukkan 12.01 am ketika suara yang ada di kost adalah suara ngorok dan tokek. Si Sangka dan Adel ulang tahun, dan saya menyentuh layar-layar telepon genggam untuk memberi ucapan selamat. 

Kemudian bangun pagi dan menyelesaikan rangkuman jurnal. Sekitar jam 8 sebelum berangkat kerja, saya chatting dulu dengan Dika, exchange student untuk Fall/Winter term. Tanya-tanya biaya yang dibutuhkan ketika disana dan seberapa besar. Jam 9.30 ada wawancara untuk beasiswa itu :'( Aku datang wawancara dengan persiapan minim.

Ah, aku berangkat lebih pagi untuk persiapan cafe, kompensasi aku akan izin satu jam untuk wawancara. Aku fikir, wawancaranya akan dalam bahasa Indonesia dan kemudian ya~ pertanyaan standar yang akan ditanya nanti. Seperti perkenalan diri, atau informasi tentang tanggungan oleh orang tua.

Ke kampus, saat sedang bersih-bersih cafe, hatiku sudah nggak menentu dan aku berusaha untuk memanipulasi diri bahwa "aku sedang tenang" dan "jangan sakit perut". Teman kerja datang dan aku izin untuk wawancara. Menunggu wawancara, aku hanya bisa ngobrol ngalor-ngidul dengan Rina Eonni. Grasa-grusu di kursi. Interviewee (?) dipanggil berdasarkan abjad dan aku berada di urutan ke empat. Tidak ada yang terwawancara kembali ke arah tempat kami duduk. Jadi tidak bisa bertanya apapun tentang apa yang ditanyakan. Dan sepertinya, pun, tidak ada yang ingin membocorkan strategi yang mereka pasang. Ya iyalah.

Giliran saya tiba, Pak Tri Widodo dan Pak Amirullah menyapa saya dalam bahasa Inggris. Hatiku mencelos. Ah~ Belum sempat menjawab, disapa lagi: "O genki desu ka? O namae wa nan desuka?"

Almanak! Eh, Alamak!

Pake bahasa Jepang! Dan sekitar 3 menit berikutnya adalah neraka bagi saya. Menjelaskan diri saya dalam bahasa Jepang peninggalan sisa-sisa penjajahan tahun '42. Di depan bapak-bapak ganteng itu.

20 menit berikutnya tetap menjadi neraka bagi saya. Kosakata sedikit dan kemampuan ngeles tinggi menjadi bumerang berkali-kali dalam sesi wawancara. Ketika selesai, aku hanya ingin menghirup aroma kopi lagi. Bergegas ke lantai 8. Di dalam lift aku merenungi semua jawabanku. Aku hanya bisa tertunduk, kakiku lemas.

"Nothing to lose, Nad. Nothing to lose..." Gumamku ke diri sendiri.

Habis kerja, kelas Seminar Operasi dan Inovasi. Lagi-lagi kemampuan berbicara-ku diuji lagi. Pak Wakhid tiba-tiba menunjukku untuk presentasi isi tulisanku. Aku tidak siap untuk maju ke depan kelas. Ya, lagi-lagi aku ditahan hampir 10 menit depan kelas, bahkan bisa lebih kalau aku tidak bertanya "boleh saya duduk, Pak?", bakal nggak sadar bapaknya aku sudah berdiri lama di depan.

***
Anyway, Rina Eonni yang bersikeras agar aku lihat si W, telepon genggam kesayangan, untuk lihat pesan dari OIA. Aku lagi nggak bawa si W dan lagi tenang-tenang di Mas Kobis. Beli makan malam. Aku tanya isi pesannya apa, malah disuruh lihat sendiri. Karena udah speechless, aku kembali ke kost dengan lambat. Nggak penasaran sama-sekali tentang apa isi dari pesan OIA itu.

Sampai~
Sampai di depan pintu kamar, ada BBM dari Mbak Nia, "Congrats Dear, ditunggu di OIA secepatnya ya~~"

Jreng. Jreng.

Aku langsung buru-buru nyari si W.

Baca pesan~ Liat jam: 12.55

Oke, saya telat.

Langsung menghubungi OIA. Membereskan semua masalah yang ada.

Mendadak airmataku keluar.

Ingat kenakalan jaman semester awal: daftar IIUM nggak bilang ortu, daftar exchange ini-itu, daftar SEGi dll! Karena nggak ada restu orang tua, ya, jadinya ada~ aja yang menghalangi: lupa kirim dokumen, lupa nomor ini lah, itu lah, ada persetujuan orang tua lah.

Ketika disetujui, yang dulu menggebu banget, ini alon-alon. Pelan-pelan sambil berdo'a: minta yang terbaik dan minta diberi ketabahan seandainya nggak diterima.

Namun, rezeki itu nggak kemana. Alhamdulillah

DORAEMON TUNGGU SAYA!!!