Seminar Internasional Ekonomi Islam dengan tema Fulfill The National Development by Encouraging Islamic Businesses telah diselenggarakan di Auditorium Pasca Sarjana Magister Manajemen Universitas Gadjah Mada Jogjakarta. Seminar ini menghadirkan berbagai pembicara, seperti Adiwarman Karim -pemilik Karim Business Consulting, Anggito Abimanyu –dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, dan pemilik Al-Falah Consulting Malaysia, Ahmad Sanusi Husain. Moderator seminar sendiri ialah Priyonggo Suseno, dosen Fakultas Ekonomi UII.
Dibagi dalam dua sesi, acara ini menggunakan tiga bahasa sekaligus, yaitu Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan Bahasa Melayu. Sesi pertama, yang diisi oleh Adiwarman Karim dan Ahmad Sanusi, membahas tentang perkembangan ekonomi syariah di Indonesia dan Malaysia. Di Malaysia perkembagan ekonomi syariah terbilang pesat, karena dukungan pemerintah dan regulasinya. Bisnis yang berdasarkan syariah juga bervariasi, seperti bisnis makanan halal, perbankan syariah, asuransi syariah atau takaful, dan investasi syariah.
Bisnis makanan halal menjadi penting di Malaysia karena hanya 25% pabrik makanan halal yang dimiliki oleh muslim. Makanan halal yang dimaksud disini bukan hanya bebas dari babi atau semacamnya, namun juga bebas dari hal-hal yang dilarang dari transaksi (riba, gharar, maisyir, suap, dll). Jadi dari pembiayaan pun sudah dijaga kehalalannya. Di dunia perbankan syariah, target market share 20% di tahun 2010 telah tercapai. Ada sekitar 19 bank syariah yang beroperasi di Malaysia, seperti HSBC Amanah, CIMB Niaga Syariah, dan Hong Leong Islamic Bank. Kemudian pemerintah Malaysia juga menggandeng bank syariah terbesar di dunia, Al-Rajhi Bank, untuk menggaet nasabah dan membiayai proyek-proyek besar.
Untuk asuransi syariah, di Malaysia telah berdiri 8 perusahaan asuransi syariah dengan market share sebesar 8%. “Perkembangan asuransi syariah agak tertinggal dengan perbankan syariah, karena selain umurnya lebih muda, jarak pendirian perusahaan asuransi syariah pertama dan kedua cukup panjang,” kata Ahmad Sanusi.
Pemerintah Malaysia juga berkomitmen untuk membangun dan --- pendanaan syariah serta industri halal untuk membuat Malaysia sebagai pusat Keuangan Syariah dan Industri Halal Internasional. Malaysia juga mempunyai master plan untuk pembangunan bank syariah dan kemudian menjadi kewajiban kepala bank untuk mewujudkannya.
Dibandingkan dengan Malaysia, market share perbankan syariah hanya 2,7% dibandingkan bank konvensional. Pengguna jasa asuransi syariah pun sekitar 3,5 juta orang atau sekitar 1 persen dari total penduduk Indonesia sekarang. Masih kalah persentase dengan Malaysia yang market share-nya 20%. Tetapi ini dikarenankan pergerakan bisnis syariah di Indonesia adalah pergerakan bottom-up, yaitu gerakan masif dari masyarakat itu sendiri. “Jangan hanya melihat dari market share-nya yang kecil, tetapi lihat juga dari jumlah orang yang berkecimpung di dunia bisnis syariah ini. Kita ini ‘besar’, tetapi karena persentase kecil itu yang menyebabkan kita tidak merasa ‘besar’,” kata Adiwarman Karim. Tren 2011 ini, kata Adiwarman Karim, yang dibahas adalah tentang pembenahan regulasi, dan promosi bukan mengusung tema “bebas riba” lagi, tetapi asas memberi manfaat. “Bank Muamalat berdiri pada tahun 1991 itu tidak ada regulasi yang mengatur. Kita hanya bersandar pada UU nomor 14 tahun 1967. Lalu kemudian pada tahun 1992, keluar UU nomor 7 tahun 1992, yang menambah pasal tentang prinsip syariah. Itu sudah Alhamdulillah, syukur-syukur bank syariah tidak dilarang,” canda Adiwarman Karim.
Pada sesi ke-dua, masih tentang perbandingan tren ekonomi syariah antara Indonesia-Malaysia, dikemukakan oleh Ahmad Sanusi bahwa aktivitas ekonomi syariah di Malaysia juga meliputi pasar uang syariah, pasar modal syariah, baitul maal, zakat, wakaf, penghitungan faraid (warisan) dan pengurusan surat wasiat. “Di Malaysia, zakat sudah sebagai pengurang pajak. Kemudian kami juga mempunyai software untuk mengitung warisan, siapa saja yang mendapatkan warisan dan berapa besar warisan tersebut,” kata Ahmad Sanusi.
Kemudian, paruh sesi kedua diisi oleh Anggito Abimanyu yang mengemukakan apakah sistem ekonomi syariah itu alternatif atau keharusan. Diawali dengan menceritakan tentang Great Depression tahun 1933 yang mengguncangkan dunia. Kemudian pemaparan didukung oleh data-data bagaimana sistem kapitalis merusak sistem ekonomi dunia. “Kapitalis, sosialis atau apa saja yang menjadi panutan ekonomi dunia, dasar pemikirannya selalu berubah dan tidak mengikuti zaman. Tetapi, ketika ekonomi syariah diterapkan, kita mempunyai dasar yang tetap, yang dijaga oleh Allah sampai akhir zaman, yaitu Al-Qur’an. Inilah yang membuat bisnis syariah tidak kolaps ketika krisis ekonomi dunia mengguncang,” kata Anggito Abimanyu. Potensi zakat yang besar, kemudian penduduk muslimnya yang banyak, menjadikan Indonesia sebagai kekuatan yang patut diperhitungkan ketika ekonomi syariah dikembangkan. Indonesia memerlukan lebih banyak lagi SDM untuk memajukan bisnis berdasarkan syariah ini. Intinya, ekonomi syariah ini adalah satu keharusan, bukan lagi sebagai alternatif.
Banyak tanggapan positif dari peserta maupun pembicara seminar yang diadakan dalam rangkaian Lustrum XI Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM ini. “Acaranya cukup inspiratif terutama ketika sesi Pak Adiwarman, well-organized, dan menumbuhkan semangat. Namun kemudian harus ditetapkan apa bahasa yang harus dipakai dalam seminar internasional semacam ini, karena cukup membingungkan seminar dalam tiga bahasa,” kritik Putri Swastika, mahasiswa Manajemen FEB UGM. “Jarang acara seminar internasional yang digagas oleh mahasiswa kalau di luar negeri. Pada umumnya yang menggagas adalah universitas, tetapi yang datang hanya sedikit. Ini membuktikan bahwa kecintaan mahasiswa terhadap ekonomi islam sangat besar di Indonesia,” tanggap Adiwarman Karim
N 4 tugas yang dikasih K Bhima