Tunangan,
menikah.
Kepikiran banget
untuk nulis sesuatu lagi tentang pernikahan. Absurd deh. Tadi melihat linimasa
si Halabi ama Pipit, ngomongin tentang temennya mereka yang barusan nikah. Jee,
pada ngiler gitu ceritanya. Saya juga ngiler, siapa sih yang nggak mau nikah
kan ya?
Pada akhirnya
pun, semua akan menemukan jodohnya, kalau nggak di dunia, insya Allah di
akhirat ada.
Yang aku
pikirkan adalah usia untuk menikah. Rasanya di beberapa post lalu aku ngebet
banget yah pengen nikah muda, di usia awal 20-an. Banyak pertimbangan, ya,
pertama, karena rahim-nya tuh masih dalam masa-masa bagus untuk “menyimpan”.
Kedua, setidaknya aku masih kuat untuk melahirkan anak selanjutnya dalam umur
yang lebih muda. Ketiga, pas anak ntar udah umur 20-an setidaknya saya nggak
tuwir-tuwir (baca: tua) amat. Ke-empat, yah saya nggak mau tambah-tambah dosa
lagi dengan mikir si anu, itu, situ, sini.
Setidaknya itu
yang aku pikirkan. Sampai kemudian aku dan Fika menghitung-hitung biaya yang
akan dikeluarkan.
Cerita ini
dimulai ketika Briti mengajakku makan siang, sebelum kuliah. Tetep cantik
walaupun matanya udah kayak mata panda aja. Dia sih bilang kalau dia habis
kerja jadi EO nikahannya orang China. Cerita punya cerita nih, sewa wedding
dress nyampe 20 juta, belum makan berupa buffet,
yang mungkin ada ratusan jeti, desain pelaminan yang nyampe 50jeti. Dan lalalala.
Ada dong sekitaran setengah milyar untuk resepsi yang (semoga) sekali seumur
hidup itu.
Aku menyimpan
cerita itu di sebuah folder dalam memori otak yang bernama “Pernikahan”.
Dalam hari itu
juga, aku janjian dengan Fika untuk ketemuan, dia mau mengambil titipan parfum
aroma kopi yang dia beli. FYI, aku dan Fika cinta banget yang namanya kopi.
Selain untuk mood-booster, kopi juga
menemani malam-malam ketika kami tenggelam dalam lautan tugas. Sekitar jam 3
sore kami bertemu, aku kasih deh parfumnya. Fika masih punya tujuan lain, yaitu
mengkopi (lagi :p) serial How I Met Your Mother. Aku sambil mengerjakan business plan, ketika teringat untuk
mencoba berdiskusi dengan Fika tentang cafe. Singkat cerita, karena penasaran
dengan Starbucks, kami memutuskan untuk ke Amplaz dan meneliti suasana warkop
mewah itu sambil menikmati segelas besar kopi :9
Kami mendapat
banyak inspirasi tentang bagaimana “melepaskan” kafe sejenis Excelso dan Starbucks
dari mall, karena di negara asalnya, Starbucks hanyalah kedai kopi di “emperan”
jalan. Hem, maksudnya di pinggir jalan dan “lepas” dari mall. Faktor pencahayaan
yang agak redup alias remang-remang, ternyata –menurut kami- adalah salah satu
faktor yang membuat suasana rileks.
Cerita mulai
berganti topik seiring dengan berjalannya waktu.
Ke masalah
pernikahan lagi. Karena habis ujian hitung-hitungan dan aku membawa kalkulator,
aku dan Fika iseng untuk menghitung biaya mewujudkan cinta sehidup-semati itu
*ceileh*. Berkas di folder "Pernikahan" di memori otak pun dibuka.
Biaya persiapan
sebelum nikah:
Rumah di Jogja +
Furniture: 500jt
Mobil kecil :
200jt
Total: 700jt
Biaya Nikah:
Pelaminan: 50jt
Sewa baju/buat
baju, make up sana-sini (?): 50jt
Makan: 200jt
(wuoh, ngundang sopo jal iki?)
Biaya gedung:
75jt
Total: 375jt
Asumsi:
- Ceteris Paribus
- Inflasi
7%
- Kedua
belah pihak menabung
- Jangka waktu 5 tahun (Menikah
umur 25-26)
PV= total
uang/(1+bunga[inflasi])^tahun
=1075jt/(1+0.07)^5
=766.460.142
=770juta
770juta/2 à karena asumsi dua orang
sama-sama nabung
=390an juta per
orang.
Jangka waktu
lima tahun, untuk bisa memenuhi biaya-biaya menikah itu harus menabung
sebanyak:
=390juta/(12x5)
=6.500.000
=7juta/bulan
Gaji fresh
graduate? Tahu sendiri kan ya berapa.
Biaya ini bisa
di-minimalisir dengan beberapa cara:
- Kontrak rumah dulu lah
- Kendaraan,
pake motor
- Furniture?
Pake yang dibeli selama nge-kost (pas aku bicara gini, Fika ngakak abis)
- Nggak usah mewah-mewah sih
resepsinya, kalau bisa juga di rumah aja :p
Gimana
hitung-hitungannya? Jauh dari sempurna sih. Sebagai gambaran aja kan?
***
Kalau ngomongin
tentang biaya nikah baru jadi jiper, ya kapan nikahnya? Toh rezeki itu ada aja.
Tapi yang paling penting, aku juga jadi mikir-mikir nih, seenak jidat aja
kemaren bersikeras mau nikah muda, padahal belum siap apa-apa kecuali aspek
lahir doang. Merasa sudah mampu hanya dengan pengetahuan melayani suami yang
sejengkal. Masih sering tegalau,
masih punya tanggungan kuliah, belum lagi kerja. Kemaren-kemaren ngolok dalam
hati kakak tingkat yang punya niatan nikah umur 30 tahun karena “tersadar”
bahwa dia masih punya banyak mimpi, eh sekarang diriku baru ngeh, kalau nikah bukan hanya sekedar
mau, tapi juga kemampuan mental. Bukan sekedar karena bayi itu lucu, tapi pikirkan
juga ketika malaikat mungil itu nantinya akan membalik jadwal tidur, berubah
menjadi jam kelelawar.
Jadinya berfikir
bahwa nikah atas 25 (asal nggak nyampe 30an aja) itu nggak apa, kerja dulu.
Tapi segera ku
hapuskan pikiran itu.
Kalau sudah niat
kemaren, kenapa harus mental dengan hitung-hitungan? Rezeki nggak kemana, niat
sudah tertanam. Tinggal berusaha memperbaiki diri dan berdo’a, bahwa niat kita
itu baik, demi menjauhkan diri dari larangan Allah SWT. Toh nggak ada salahnya,
menjadi istri dan ibu juga akan menjadi peran yang baru buat perempuan yang
nantinya menikah. Awalnya pasti belajar. Masalah pasti ada, tapi apa yang
ditakutkan ketika melakukan hal yang benar?
Yuk, nikah muda J
3 comments:
aku ngakak jungkir balik ce
baca postingan ini...:))
Senpaiii~~ jangan lupa undang aku!!! :-)
Moga cepet-cepet nikah pai... *tulus lho ini nulisnya*
meii suka endingnyaa >_<
Post a Comment