Lanjutan Part I
Jalan-jalan dilanjutkan ke Museum Batik Danar Hadi atau House of Batik Danar Hadi. Cukup berjalan kaki sekitar 10 menit dari Museum Radya Pustaka. Kalau pengen masuk, harus lewat dari showroom batik mereka. Untuk mahasiswa, dengan menggunakan Kartu Tanda Mahasiswa bisa dapat potongan, dari Rp25.000 jadi hanya Rp15.000. Lumayan buat kantong nan kering kerontang ini. Harga sepotong baju di Danar Hadi? Hem, jangan ditanya deh. Nggak cocok sama kantong mahasiswa aja pokoknya. Dari showroom, diantar mbak FO-nya untuk ke museumnya.
Awalnya aku sempat menggerutu, ya, museum apa nih 25ribuan masuknya? (walaupun udah dipotong tetep aja kan harga awalnya mahal. Tapi ketika masuk ruang museumnya, aku berhenti menggerutu. Ternyata disediakan museum-guide untuk berkeliling. Masih, di museum yang hanya aku dan Fika pengunjungnya ini, kami ditanyai lagi oleh para museum-guide: mau ngapain, dalam rangka apa, darimana. Jarang ye ngeliat orang lokal masuk ke museum?
Di museum Danar Hadi ada sekitar 11 kamar/ruang untuk memajang batik dan semua batik di dalam museum ini adalah koleksi Bapak Santosa, pemilik batik Danar Hadi. Kain-kain batik dalam museum semuanya bercerita, tentang cinta, asimilasi budaya, strata sosial, kekayaan. Wah banyak deh. Mau cerita sedikit, ah. Batik itu, awalya hanya berwarna cokelat (muda maupun tua) yang berarti tanah. Tanah dipercaya salah satu elemen pembentuk manusia. Seiring dengan perjalanan, kemudian batik berasimilasi: batik Jepang, batik China, batik Belanda, batik India. Warna batik kemudian juga mengalami banyak variasi, orang di bagian pesisir pantai banyak menggunakan warna cerah, karena rata-rata bergaul dengan pedagang yang membawa kain dari negeri asalnya.
Tujuan, jenis kelamin, dan status juga menentukan (motif) batik apa yang akan dipakai. Misalnya motif Satria Manahan, yang dipakai pria untuk melamar gadis! Ahahahaha. Yah, apalagi kalau bukan agar cintanya di terima (panah). Sedangkan untuk gadis, motifnya adalah Semen Rante, supaya ikatannya nggak lepas alias langgeng :D Ah, untuk menggambarkan bahwa gadis itu telah siap dilamar :)
Hanya sedikit yang aku ingat. Mengingat apa yang terjadi di semua ruangan hanya dalam satu jam? Mungkin hanya orang yang mempunyai ingatan fotografis.
Yang aku ingat kemudian aku dan Fika melihat proses membatik di ruang workshop, dan juga ikut membatik :D menggambar pola, memegang canthing, melihat proses batik cap, berfoto-foto. Kemudian aku teringat harga sepotong baju di showroom tadi. Well, handmade, nggak salah kalau biayanya mahal. Lagipula pekerjaann tangan memang harus dihargai, belum lagi usaha untuk menciptakan lapangan pekerjaan untuk, wah, mungkin ada ratusan pekerja yang bekerja siang itu. Satu meter kain saja butuh waktu proses yang lama agar menjadi batik yang indah. Salut deh.
Memang Solo tak lepas dari pusat batik.
Lalu aku bertanya pada guide mengapa batik dipilih UNESCO sebagai salah satu cultural heritage. Alasannya sih ada enam, tapi yang aku ingat: bahwa pemerintah telah berusaha untuk melestarikan batik dan batik telah menjadi tradisi di Indonesia (batik tulis, ya).
Aku semakin ingin keliling Indonesia dulu. Bangga-nya minta ampun deh.
Kalau gini jadi ingat Papa bercerita tentang enaknya hidup di Indonesia:
"... dimana lagi hidup bebas menjalankan agama masing-masing. Kesana-kemari luas, memang sih berat di ongkos. Banyak sekolah (PT) bagus, cari uang mudah ... Asal kau sukses..."
:D
Sebelum pulang, diriku membeli satu gantungan kunci lumba-lumba dari kain batik :D
Perjalanan masih panjang :D
No comments:
Post a Comment