2 April 2012

Lost in Solo (Part. I)

Long weekend kemarin Nad melanjutkan resolusi tahun ini: 5 kota (+10 kota, insya Allah). Kali ini rencana mendadak ke Solo bersama Fikabu. Sebelumnya sih Nad cuman rencana sama Adel untuk ke Solo. Tapi nggak jadi karena Adel punya kelas pengganti hari Sabtu pas rencana jalan sambil nginep itu. Pas malem tanggal 23 Fika BBM Nad tanya apa Nad jadi jalan hari Jum'at, nad bilang nggak jadi. Trus Fika ajak Nad untuk pergi ke Solo hari Sabtu-nya. Yah, dengan segala keriangan hati, Nad iya-kan saja ajakan Fika itu. :D

Padahal hari Sabtu ada kuliah pengganti Sosiologi-Politik.

Tapi tawaran ke Solo dengan guide seorang yang mahfum sejarah, pastinya menyenangkan. Jadilah saya skip saja kelas berdurasi hanya 100 menit itu.

Dengan jalan-jalan sampai 12 jam.

Bangun jam setengah lima, shalat, leyeh-leyeh sebentar, trus bersih-bersih dan mandi. Ah, biasa deh, kalau mau jalan-jalan pasti deg-degan. Nggak sabar pengen ke stasiun kereta api aja. Jam 6 pas Nad dari kost, ngebut ke  Stasiun Lempuyangan, rencana naik Prameks ke Solo.

Bareng Fika.

Sampai di stasiun Lempuyangan, Nad malah sudah susun aja rencana semester depan pengen jalan-jalan ke mana aja. Keliling Jawa. Pasti menyenangkan. Masa udah berada di tanah Jawi tapi nggak pernah mengeksplor kekayaan pariwisatanya. Sejak pariwisata jadi passion Nad, keliling Indonesia rasanya jadi sedikit bagian dari mimpi Nadiyah. Sambil nunggu Fika yang belum datang, Nad melirik ke sekeliling. Pasti seru perjalanan kali ini. :)

Setelah Fika datang, kami ke loket untuk membeli tiket, harganya Rp.10.000 sekali perjalanan. Perjalanan Jogja-Solo ditempuh sekitar 45-60 menit, tergantung seberapa dalam injakan gas sang masinis untuk melajukan kereta *kereta atau mobil nih*. Ah, dasar jarang naik kereta, Nad selalu takjub, sekaligus ngejek-ngejek, kepada salah satu mode transportasi Indonesia paling tua ini. Well, rel kereta masih peninggalan Londo, kemudian kereta yang udah karatan, belum lagi jadwal yang jam karet.

Memang anak fakultas Ekonomika dan Bisnis, yang dibicarain selama nunggu kereta di peron ya sekitar transportasi Indonesia dan imbasnya pada kehidupan berekonomi Indonesia. Mulai dari mimpi untuk membangun seperti shinkansen di Jepang, sampai hanya ide untuk membuat sistem kereta api di Indonesia lebih bagus.

"Kerjaannya anak manajemen operasi, kan?" kata Fika.

Aku pun mengangguk. Iya, itu kerjaan bidang manajemen. Interdisipliner tentunya. Kami pun terdiam membayangkan kapankah saat Indonesia mempunyai shinkansen. Semoga tidak akan lama lagi dan kami masih hidup untuk melihat mimpi saat ini jadi kenyataan. Amin.

Kereta ngaret 20 menit dari jadwal yang tertera di tiket. Nggak ngaret nggak rame.

Kereta Prameks Jogja-Solo di peron dua. Emang sih naik Prameks ini untung-untungan, kalau dapat tempat duduk alhamdulillah, nggak dapat juga alhamdulillah. Semoga jadi kuat tangannya untuk pegangan erat di kereta ntar.

Masuk. Rebutan. Senggol-senggolan.

Fika udah berpengalaman, dan dia dapat tempat duduk. Aku mendapat tempat duduk karena belas kasihan dari bapak yang tak tega membiarkan aku berdiri dengan tangan yang tak dapat menjangkau pegangan di langit-langit gerbong.

Aku duduk, tapi jauh dari Fika :'(

Dan selama perjalanan diriku BBM-an dengan Onii, yang berkata bahwa Colette Valois mirip dengan Ayu Ting-Ting. Gerr.. Kereta api memang menyimpan sejuta cerita. Dari rindu, lelah, senang, cinta, dan... misteri.

Sampai di Solo, Fika langsung membuka trip-plan-nya. Pertama akan ke tiga museum yang letaknya berdekatan: Museum Radya Pustaka, Museum Danar Hadi (House of Danar Hadi), dan Museum Pers. Turun dari kereta, langsung ke terminal bis dalam kota-nya Solo. Mungkin trans-solo kali ya namanya. Tujuan Museum Radya Pustaka. Rp.3.000 seorang.

Sampai di terminal seberang museum, jadi kami harus menyebrangi jalan 4 lajur. Solo kota kecil namun jalan raya-nya 4 lajur! Balikpapan saja beluuuumm... :'( Solo termasuk kota bersih dan indah. Pedestrian atau tempat pejalan kaki-nya pun lebar dan ditanami pohon-pohon rindang. Tapi anehnya motor dan mobil pun leluasa untuk berlalu-lalang di trotoar X(

Setelah sedikit bertanya, kami mengelilingi pagar tinggi sekitar museum dan melihat beberapa patung di pagar itu. Nakula, Sadewa. Ah aku kira sepanjang pagar akan dihiasi oleh pandawa lima, dan asyik mencari sisanya, Yudhistira, Bhima, Arjuna. Ternyata tak ada =_=". Sebelum memasuki wilayah museum, ada dua meriam yang dipajang. Aku mendekatinya, dan Fika berkata, “Mau difoto, Nads?”



Nads? Iya, sejak aku selalu menambahkan ‘s’ ketika menyebut namanya, Fika juga terikut. Aku pun mengiyakan. Aku pun bergaya “Serang Belanda!” :p

“Fika, ini meriam beneran, ya?” Aku bertanya.

“Iya Nad, itu kan logam.”

Aku lalu melihat moncong meriam, berfikir berapa banyak peluru (? Atau apa sih ya? Canonball bahasa Indonesianya apa?) yang telah ditembakkan dari meriam ini. Aku tak suka perang, ah lebih tepatnya aku tak suka keadaan yang mengakibatkan menang-kalah: debat, negosiasi, perang. Hanya membuat salah satu pihak terkadang menjadi sakit hati (ada yang legawa sih) ketika kalah. Setelah bergantian berfoto-foto di meriam, kami kemudian masuk ke dalam kawasan museum.

Banyak artefak peninggalan sejarah yang aku lihat dari depan gerbang yang ditaruh di depan pagar museum: alu, lesung, gupolo (dua penjaga gerbang). Tak sabar untuk memasuki museum, kita berdua akhirnya mempercepat langkah ke gerbang masuk. Sesampainya disana, eh masih tutup. Alhamdulillah, ketika melihat jadwal, hari Sabtu bukan dalam daftar hari museum ditutup. Kami adalah pengunjung pertama! Sambil menunggu museum buka, aku memutuskan untuk melihat-lihat alu dan lesung. Aku raba permukaan alu, terlihat dari bentuknya saja aku membayangkan alat yang mereka gunakan pada zaman dahulu kala untuk mengangkatnya, dan membuatnya.

Tak lama kemudian pintu museum dibuka, walau pak penjaga loket belum disana, aku dan Fika sudah nongkrong saja disana. Tiket masuk seorang Rp2.500, dan izin untuk membawa kamera Rp5.000. Kapan ya, terakhir aku ke museum? Seperti biasa, dalam rumah Limasan ini, Gupolo selalu ada. Kemudian ada beberapa arca di luar. Ah, ada seorang dewi yang mempunyai banyak tangan, sayang aku lupa namanya, kemudian dia membawa beberapa benda di tangannya tersebut, salah satunya adalah kepala gajah, yang artinya kecerdasan. Di arca tersebut sang dewi terlihat telah mengalahkan sesuatu. Ah, mungkin aku akan kesana lagi untuk melihat nama dewi itu.

Masuk ke dalam rumah, ada seperangkat wayang. Ah, ini dia, aku tak pernah menonton Wayangan. Parah. Padahal aku sudah berada di Jawa. Kata Fika wayangan pasti disajikan dengan bahasa Jawa Kuna, yang dia sendiri kadang tak mengerti artinya. Apalagi aku. Bahasa Jawa Ngaka aja aku belum fasih. Parah, sekali lagi parah. Tak ada tercetak nama-nama di wayang tersebut, aku jadi hanya bisa mengira-ngira. Berlanjut ke tempat senjata khas Jawa: Keris dan Warangka-nya. Keris dan sarungnya. Betapa sakral-nya keris-keris dalam kehidupan orang Jawa, sehingga ada beberapa keris ketika malam 1 Sura dicuci dengan kembang tujuh rupa. Pembuat keris pun dianggap sakti mandraguna. Kita pun tahu beberapa pembuat keris, Mpu Gandring salah satunya.

Dari bagian keris ke bagian perabotan: piring dan segala macam. Piring-piring tersebut ada yang bercetakan foto, dan sebagian ada yang bertuliskan bahwa orang yang dicetak dalam foto itu adalah yang meninggal. Beberapa foto berukuran besar juga dipajang, menggambarkan kegiatan orang Solo zaman dahulu yaitu membatik, membathik lebih tepatnya. Kemudian ada guci berwarna merah yang memikat pandangku. Aku melihat guci itu dengan seksama dan membaca keterangannya: “Hadiah dari Napoleon Bonaparte”. Aku penasaran, apa Napoleon pernah ke Indonesia?

Beruntung diriku bersama orang pecinta sejarah, kemudian Fika menjelaskan: “Nggak, Nad, dia nggak pernah ke Indonesia. Well, zaman dulu, penguasa daerah-daerah kolonial kan diberi semacam hadiah begitu dari ‘atas’, yang memberikan hadiah ini, adiknya”. Dan mulutku membentuk huruf ‘o’ besar. Aku kira Napoleon pernah bertandang kemari. Walau pada zaman dulu.

Pindah ke ruang tengah yang berisikan alat musik Gamelan dan beberapa perlengkapan kerajaan, seperti baju beskap, topi tentara, alat untuk mengangkut putri, dan sebagainya. Aku hanya bisa terkagum-kagum tetapi di satu sisi juga miris. Museum ini sebenarnya ditampilkan ala kadarnya. Seperti kurang diurus. Fika bilang koleksi museum ini berkurang, karena beberapa kali dicuri. Ah, lemari untuk etalase barang-barang pun sama tuanya dengan lemari Oma. Mengapa tak diganti yang baru saja?

Beberapa orang yang melihat kami kemudian menyapa dan bertanya: darimana asalnya, mengapa kemari, dari jurusan apa. Ya kami jawab saja kami dari Jogja, dari UGM; kemari karena ingin lebih mencintai budaya sendiri (duile...) dan dari jurusan IE dan Manajemen. Sepertinya mereka heran dengan dua gadis muda yang berkeliaran di museum. Indonesia pula. Mungkin yang biasa meramaikan museum ini adalah turis asing dan kunjungan dari anak-anak SD yang ribut namun tidak mendengarkan, dan beberapa heran mengapa kami dari ekonomi masuk ke museum, mereka menebak bahwa kami dari jurusan Sejarah, dan ke museum untuk mengerjakan tugas.

“Kalau bukan kami, Pak, siapa lagi yang mencintai budaya Indonesia?”

Lanjut ke bagian belakang museum, yang dipenuhi arca dan miniatur-miniatur bangunan. Rumah Limasan (semuanya simetris! Baik bentuk bangunannya, peletakan pilar dalamnya dan sebagainya), Astana Imogiri (aku selalu merujuk pada Astana Giribangun-nya pak Harto!  Ya, ya, ya... Kuburan raja-raja berundak dan mempunyai tangga menanjak yang sangaaaaaaat panjang, setiap ketinggian menandakan seberapa tinggi jabatan mereka di zaman terdahulu. Aku hanya bisa mengucap waw lagi) dan menara pertahanan (lima lantai, segi lima, untuk pasukan memanah!). Sambil aku melihat-lihat, Fika menjadi tour guide yang handal, menjelaskan setiap bangunan, fungsinya dan makna dari bentuk tersebut. Beberapa peninggalan juga seperti mata uang yang dulu dipakai dalam perdagangan di zaman kerajaan. Halaman belakang dipenuhi arca yang bagian-bagiannya tak lengkap dan beberapa prasasti, seperti Ganesha yang tidak mempunyai belalai. =_=”

Balik ke dalam baru Fika menjelaskan tentang Gamelan dan cara memainkannya. Fika yang pernah ikut Karawitan fasih menjelaskan satu-satu. Ah, coba saja pelajaran sejarah semenarik ini. Pasti akan melekat di otak. Beberapa yang Fika jelaskan adalah tentang perjanjian Linggajati, politik adu domba Belanda yang berusaha memecah belah kekuatan Indonesia. Akh. Saat itu belum ada kata “Indonesia”, yang ada adalah pribumi dan asing. Jika aku hidup pada zaman dahulu, apa yang aku perbuat? Ketika berada di ruang tengah, fantasi-ku muncul lagi, bagaimana kalau dulu, ruangan ini sebenarnya adalah ruang untuk berdansa, kemudian untuk pertemuan Meneer-meneer, perdebatan, pertengkaran, romantisme (halah). Ya, rumah ini adalah saksi bisu.

Puas melihat, kami ke perpustakaan. Banyak naskah kuno, namun kami tidak diizinkan untuk membukanya. Masih ada inventarisasi katanya. Aku hanya mengangguk-angguk saja. Penjaga perpustakaannya membantu kami untuk memilih buku yang akan kami gunakan. Kemudian sambil beliau mencarikan buku tentang batik dan buku tentang kebudayaan Jawa. Ada beberapa halaman tentang kepercayaan orang Jawa, misalnya tentang anak-anak yang perlu "treatment" khusus atau diruwat/dibersihkan agar tidak diambil oleh Batara Kala dan hidup menderita atau sukerta, salah satunya adalah anak laki-laki tunggal yang disebut Ontang-Anting. Belum lagi yang namanya kembar perempuan, empat bersaudara perempuan semua atau lelaki semua... Banyak pantangannya :|

Kebudayaan Jawa selalu menarik bagiku, baik dari aspek bahasa, mata pencaharian (psstt... para Priyayi menganggap berdagang adalah suatu hal yang rendah, sehingga mereka menjauhi pesisir, hidup di tengah kota/daratan dan hidup dari pajak tanah! *CCM story*), seni, agama (Kejawen), ah, tak habis-habis jika terus digali dan dibuat suatu buku. Bahkan buku berbahasa Belanda yang kami temui, yang membahas tentang tanah, rakyat dan kehidupan orang Jawa pun terdiri lebih dari dua puluh jilid. Ensiklopedi menurutku.

Sehabis dari perpustakaan, kami pun bersiap menuju tempat selanjutnya. Museum Batik Danar Hadi. Sampai kemudian aku melihat dua patung setengah badan dari pemilik rumah yang kemudian menjadi museum ini. Mereka ditempatkan di tengah dan memandang jauh ke luar museum.

Kami akan melanjutkan kebudayaan ini :)

*fotonya nanti ya :D tunggu Fika :D

No comments: