9 December 2009

Kematianmu kapan?


Bulir air jatuh perlahan dari pelupuk mata
Menyayat hati
Menembus sukma
Menggambar risau tak bertepi 
Perlahan, hati mulai gelap
Mata mulai tetutup
Dalam kesendirian

Serem ya judulnya? Tapi yah itu dia yang ngganggu Nad selama ini... Emang sih kita nggak tahu kapan akan mati dan nggak tahu juga kiamat kapan datangnya. Iseng Nad tanya ke temen-temen Nad, kalo mereka tahu kapan mereka mati, apa yang akan mereka lakukan? Hasilnya 99 % dari mereka mau bilang bertobat memperdalam agama dan mau lebih dekat ama Allah SWT. Tapi Nad jadi narik kesimpulan lagi, begitu sedikitnya bekal kita menghadapi Yang Kuasa? Mereka –mungkin- hanya bertobat kalau mereka tahu kesemptan mereka hanya sedikit lagi dan nggak sadar, padahal kesempatan mereka itu bisa datang kapan saja. Kita kan nggak tahu kapan kita akan mati?
So far, nad dapet jawaban lucu dari temen-temen tentang kematian. Pernah Nad dapet cerita tentang kakak kelas Nad yang ditanyain ama temennya (anggap aja A dan B)
A: Eh, kalau kamu mati trus nggak sempat buat amal gimana?  
B: yah, kamu nggak usah tanya deh, ngeri juga jawabnya
A: Loh, kalo misalnya kamu ditanya malaikat Munkar n Nakir gimana? Kamu nggak punya amal sama sekali. Kerjaan kamu kan cuma ngegangguin aku ampe busuk?
B: Yah aku ntar buat contekan aja. Jadi bisa nyontek kalo ditanya
Asli.
Jayus abis.
Ini cerita ke dua, antara Desi n Nad
 Nad : Des, kalo kamu meninggal tiga bulan lagi kamu mau ngapain?
Desi : Aku mau bunuh kamu duluan supaya aku dapet teman di Neraka
*sial 
Tapi, ada lagi nih, temen Nad yang kerjaannya ngejar kebahagiaan duniawi tyusss! Pas ditanya kapan nyiapin bekal akhirat, dia bilang, “Aduh Nad, hidup cuma sekali. Jadi senang-senang aja dulu. Kalo urusan itu mah mikirnya pas udah tua aja..”
Nah, kalo misalnya dia mati muda gimana??
Laen lagi jawaban Ninik waktu ditanya pertanyaan sama kayak Desi
Ninik : Kalo gue mah mau tobat. Dosa gue banyak banget. Selebihnya nggak tahu deh. Nggak ada persiapan buat ke Rahmatullah
Nad : Kalo lo punya temen yang sisa hidupnya tinggal sedikit gimana? Misalnya gue deh...
Ninik : Ah, kalo lo yang kejadian mah, gue bakalan bantu lo tobat. Soalnya gue ngerasa dosa lo lebih banyak dari gue...
Manusia kadang terlalu yakin kalo bakalan dikasih umur panjang ama Yang Mahakekal. Nad ngerasa aneh... Tapi Nad nggak mungkirin juga kalo nad pernah berfikir bahwa hidup nad bakalan ampe tua ntar. Mulai nad gede, baru nyadar deh, bahwa kesempatan Cuma datang sekali dan harus digunakan baik-baik. Okelah, persiapannya masih sedikit banget untuk mengahadapi alam kubur nanti. Mulut ini masih tak terjaga dan hati ini belum penuh dengan kekasih sesungguhnya..
Nah, kalo kamu, apa persiapanmu untuk ngadepin alam ketiga ntar?


5 December 2009

Melodi Dukuh Panggang Part III


: sebuah da capo untuk kita semua
Instrumen para pemain di Idul Adha
Pisau
Batang pisang
Mulut
Tak lupa embikan kambing
Inilah persembahan
Membuang semua hasrat binatang dalam diri
Bukti keikhlasan
Dan perayaan
Bagi kita sesama manusia
Tidak hanya bermewah-mewahan
Sehingga terlena
Tetapi berbagi
Dari Allah, untuk kita dan mereka
“Maka, nikmat Allah yang manakah yang kamu dustakan?”

Melodi Dukuh Panggang Part II


: reffrain from majority
Senja mulai merangkak. Adzan maghrib berkumandang, mengisi rongga-rongga di udara. Suaranya memantul syahdu di beningnya air. Burung pun terdiam sebentar, mendengarkan panggilan sayang dari Sang Pencipta. Anak-anak kecil berebut di tempat wudhu. Celotehnya menggambarkan masa kecil yang bahagia walau tak ada nitendo, ps3, ataupun handphone. Mereka terbiasa bermain dengan alam.
Sayup-sayup iqamat terdengar. Manusia berdiri serentak, menanggalkan semua keegoisan dalam diri, ikhlas, memuja sang pencipta. Mengagungkan. Dalam sujud, untaian doa tak bertepi dipanjatkan. Meminta ampunan, lalu memohon agar semua rahmat ini jangan dilepas.
Kemudian, setelah melepas rukuh, para perempuan-perempuan Dukuh Panggang tetap diam di Masjid Amaliya. Di muka mereka tergores hasil kerja keras bertahan hidup. Kaki-kaki mereka keriput, tapi tetap saja mampu menopang mereka. Yang wajahnya perlahan dimakan zaman. Namun tidak dengan semangat mereka. Menurut mereka, inilah yang telah Allah pilih untuk mereka, hidup di Dukuh Panggang. Tak ada yang patut disesali. Menerima adalah jalan yang terbaik.
Ketika bunyi jangkrik terdengar, burung berkoak, laron beterbangan di lampu-lampu, aku menengadahkan muka ke langit. Pekat, dengan bintang-bintang terang yang tidak kudapati di pusat kota. Seperti inikah rasanya tinggal di desa terpencil? Dengan campuran adat istiadat yang kental berbaur dengan suasana agamis? Dengan sedikitnya akses untuk berhubungan ke dunia luar, sinyal handphone yang bagaikan emas?
Aku perlahan berjalan ke dapur untuk sekedar menghangatkan diri. Minyak tanah? Itu adalah barang langka. Yang mereka pakai masih kayu bakar, tungku, wajan yang gosong... aku menghangatkan diri.
Aku tidak yakin akan bertahan di tempat seperti itu.