5 December 2009

Melodi Dukuh Panggang Part II


: reffrain from majority
Senja mulai merangkak. Adzan maghrib berkumandang, mengisi rongga-rongga di udara. Suaranya memantul syahdu di beningnya air. Burung pun terdiam sebentar, mendengarkan panggilan sayang dari Sang Pencipta. Anak-anak kecil berebut di tempat wudhu. Celotehnya menggambarkan masa kecil yang bahagia walau tak ada nitendo, ps3, ataupun handphone. Mereka terbiasa bermain dengan alam.
Sayup-sayup iqamat terdengar. Manusia berdiri serentak, menanggalkan semua keegoisan dalam diri, ikhlas, memuja sang pencipta. Mengagungkan. Dalam sujud, untaian doa tak bertepi dipanjatkan. Meminta ampunan, lalu memohon agar semua rahmat ini jangan dilepas.
Kemudian, setelah melepas rukuh, para perempuan-perempuan Dukuh Panggang tetap diam di Masjid Amaliya. Di muka mereka tergores hasil kerja keras bertahan hidup. Kaki-kaki mereka keriput, tapi tetap saja mampu menopang mereka. Yang wajahnya perlahan dimakan zaman. Namun tidak dengan semangat mereka. Menurut mereka, inilah yang telah Allah pilih untuk mereka, hidup di Dukuh Panggang. Tak ada yang patut disesali. Menerima adalah jalan yang terbaik.
Ketika bunyi jangkrik terdengar, burung berkoak, laron beterbangan di lampu-lampu, aku menengadahkan muka ke langit. Pekat, dengan bintang-bintang terang yang tidak kudapati di pusat kota. Seperti inikah rasanya tinggal di desa terpencil? Dengan campuran adat istiadat yang kental berbaur dengan suasana agamis? Dengan sedikitnya akses untuk berhubungan ke dunia luar, sinyal handphone yang bagaikan emas?
Aku perlahan berjalan ke dapur untuk sekedar menghangatkan diri. Minyak tanah? Itu adalah barang langka. Yang mereka pakai masih kayu bakar, tungku, wajan yang gosong... aku menghangatkan diri.
Aku tidak yakin akan bertahan di tempat seperti itu.

No comments: