29 November 2009

Hey, Cantik!

Bete...

Hahahaha

Ini nih gara-gara mikirin sesuatu hal yang nggak jelas, eh jadinya malah keki sendiri. Aku sih selalu mendengar bahwa definisi cantik itu relatif. Ada yang bilang cantik itu putih, bersih, enak dipandang. Pokoknya yang bagus-bagus lah.

Aku terjerumus dengan pemikiran seperti itu, nampaknya.

Hah,
Males banget deh. Ketika definisi cantik itu ditanyakan kepada kaum Adam. Yah, rata-rata bilang cantik itu enak dipandang. Mengutamakan raga alias jasmani. Ini pemikiranku: lelaki butuh keindahan. Bener nggak sih?

MAAF!


Udah lama nih nggak nulis bLoggg!! Bahaya banget nih setiap bulan tulisan yang nad buat berkurangg :’(

Huhuhuhu... maaf yah...

Melodi Dukuh Panggang Part I


: Panggang, 26 November 2009, Interlude from Jogja

Lalat-lalat itu beterbangan di atas kakinya. Ia tetap saja memegang pensil warna murahan itu. Duduk, mewarnai. Hati-hati ia menggores pensil warna di atas kertas yang bergambar anak kecil, lelaki dan perempuan. Seperti dirinya.
Sesekali ia nampak kebingungan, warna apa yang akan ku ambil?. Tidak cuma dia, ada 2 anak laki-laki lain dan seorang anak perempuan yang sama bingungnya dengan dia.


Ketika lelah menggoreskan, dia akan menegakkan tubuhnya dan menarik nafas panjang. Huffttt.

Lalu ia melanjutkan lagi tugasnya, mewarnai.

Ketika mendengar keributan dari kelompok sebelah, ia akan menoleh. Lalu tersenyum sendiri. :) mata kecilnya berbinar seolah mengatakan, "aku juga ingin tertawa disana". kemudian seolah mendapat tenaga, ia bisa menggoreskan warna lebih cepat dari sebelumnya.

Sayup-sayup kicau burung terdengar dari sela pepohonan. Sang Pelukis sendiri telah menggoreskan warna jingga di langit-Nya. Walau dikelilingi oleh pepohonan, nyatanya dukuh itu masih saja gersang. susah air. Penduduk mengandalkan tadah hujan dan membeli air. Letaknya yang jauh dari keramaian (pusat kota), membuat anak-anak tersebut jauh dari teknologi.

Namun tawa anak-anak mengesampingkan masalah itu sejenak.

Entah kapan, generasi itu akan mengubah keadaan dukuh menjadi lebih baik.


15 November 2009

♫Melodi Ketika Hujan♫


Sekilas
Hatiku terpana

Hujan turun

Kutadahkan tangan

Lalu air mengalir

Menelusup

Membasuh hati

Dalam diam ku tersenyum

Dia ada,
Mencintaiku tanpa batas


3 November 2009

Untukmu, Pemilik Phino

Aku..
Bener-bener nggak tahu harus mulai note ini dari mana

Aku kangen kamu.

Aku baru sadar kalo nggak ada yang lain yang bisa menggantikan posisimu di hati aku. Tapi, bodohnya aku, aku baru menyadari itu setelah kamu jauh dari aku. Bahwa aku rindu, kamu tak tergantikan.

Aku berusaha, mencari penggantimu. Aku ingin mendengar celotehmu, yang keluar cepat tanpa terkendali dari bibirmu. Aku nggak perlu ceritamu sebenarnya, yang aku perlukan kita selalu berdua. Kita berbagi, walau kadang aku sering melupakannmu. Untuk yang satu ini maaf.

Aku biasa bertandang ke rumahmu. Walau sesibuk apapun, walau sedikitnya waktu yang ada, aku ingin bertemu denganmu. Selalu.
Sudah 3 tahun kita jalin hubungan ini. Bersama Nyew, yang jadi saksi kebersamaan kita. Kita berdua.

Kita, terpisah jarak lagi. Aku rindu dirimu. Rindu masakan ibumu. Rindu semua tentangmu. Aku yakin, selama tiga tahun ini, kaulah yang terbaik.
Aku mungkin bukan yang terbaik untukmu.

Tapi, sekali lagi, tak ada yang sepertimu.

::nyinyik::

Ps: rindu banget jalan-jalan

2 November 2009

Kisah Pohon Apel


Suatu ketika, hiduplah sebatang pohon apel besar dan anak lelaki yang senang bermain-main di bawah pohon apel itu setiap hari. Ia senang memanjatnya hingga ke pucuk pohon, memakan buahnya, tidur-tiduran di keteduhan rindang daun-daunnya. Anak lelaki itu sangat mencintai pohon apel itu. Demikian pula pohon apel sangat mencintai anak kecil itu.

Waktu terus berlalu. Anak lelaki itu kini telah tumbuh besar dan tidak lagi bermain-main dengan pohon apel itu setiap harinya. Suatu hari ia mendatangi pohon apel. Wajahnya tampak sedih.

"Ayo ke sini bermain-main lagi denganku," pinta pohon apel itu. "Aku bukan anak kecil yang bermain-main dengan pohon lagi," jawab anak lelaki itu. "Aku ingin sekali memiliki mainan, tapi aku tak punya uang untuk membelinya."

Pohon apel itu menyahut, "Duh, maaf aku pun tak punya uang... tetapi kau boleh mengambil semua buah apelku dan menjualnya. Kau bisa mendapatkan uang untuk membeli mainan kegemaranmu."

Anak lelaki itu sangat senang. Ia lalu memetik semua buah apel yang ada di pohon dan pergi dengan penuh suka cita. Namun, setelah itu anak lelaki tak pernah datang lagi. Pohon apel itu kembali sedih.

Suatu hari anak lelaki itu datang lagi. Pohon apel sangat senang melihatnya datang.

"Ayo bermain-main denganku lagi," kata pohon apel. "Aku tak punya waktu," jawab anak lelaki itu. "Aku harus bekerja untuk keluargaku. Kami membutuhkan rumah untuk tempat tinggal. Maukah kau menolongku?" "Duh, maaf aku pu n tak memiliki rumah. Tapi kau boleh menebang semua dahan rantingku untuk membangun rumahmu," kata pohon apel.

Kemudian anak lelaki itu menebang semua dahan dan ranting pohon apel itu dan pergi dengan gembira.

Pohon apel itu juga merasa bahagia melihat anak lelaki itu senang, tapi anak lelaki itu tak pernah kembali lagi. Pohon apel itu merasa kesepian dan sedih.

Pada suatu musim panas, anak lelaki itu datang lagi. Pohon apel merasa sangat bersuka cita menyambutnya.

"Ayo bermain-main lagi deganku," kata pohon apel. "Aku sedih," kata anak lelaki itu. "Aku sudah tua dan ingin hidup tenang. Aku ingin pergi Berlibur dan berlayar. Maukah kau memberi aku sebuah kapal untuk pesiar?" "Duh, maaf aku tak punya kapal, tapi kau boleh memotong batang tubuhku dan menggunakannya untuk membuat k apal yang kau mau. Pergilah berlayar dan bersenang-senanglah."

Kemudian, anak lelaki itu memotong batang pohon apel itu dan membuat kapal yang diidamkannya. Ia lalu pergi berlayar dan tak pernah lagi datang menemui pohon apel itu.

Akhirnya, anak lelaki itu datang lagi setelah bertahun-tahun kemudian.

"Maaf anakku," kata pohon apel itu. "Aku sudah tak memiliki buah apel lagi untukmu." "Tak apa. Aku pun sudah tak memiliki gigi untuk mengigit buah apelmu," jawab anak lelaki itu. "Aku juga tak memiliki batang dan dahan yang bisa kau panjat," kata pohon apel. "Sekarang, aku sudah terlalu tua untuk itu," jawab anak lelaki itu. "Aku benar-benar tak memiliki apa-apa lagi yang bisa aku berikan padamu. Yang tersisa hanyalah akar-akarku yang sudah tua dan sekarat ini," kata p ohon apel itu sambil menitikkan air mata. "Aku tak memerlukan apa-apa lagi sekarang," kata anak lelaki. "Aku hanya membutuhkan tempat untuk beristirahat. Aku sangat lelah setelah sekian lama meninggalkanmu."

"Oooh, bagus sekali. Tahukah kau, akar-akar pohon tua adalah tempat terbaik untuk berbaring dan beristirahat. Mari, marilah berbaring di pelukan akar-akarku dan beristirahatlah dengan tenang." Anak lelaki itu berbaring di pelukan akar-akar pohon. Pohon apel itu sangat gembira dan tersenyum sambil meneteskan air matanya.

Ini adalah cerita tentang kita semua. Pohon apel itu adalah orang tua kita. Ketika kita muda, kita senang bermain-main dengan ayah dan ibu kita. Ketika kita tumbuh besar, kita meninggalkan mereka, dan hanya datang ketika kita memerlukan sesuatu atau dalam kesulitan. Tak peduli apa pun, orang tua kita akan selalu ada di sana untuk memberikan apa yang bisa mereka berikan untuk membuat kita bahagia. Anda mungkin berpikir bahwa anak lelaki itu telah bertindak sangat kasar pada pohon itu, tetapi begitulah cara kita memperlakukan orang tua kita.

Sebarkan cerita ini untuk mencerahkan lebih banyak rekan. Dan, yang terpenting: cintailah orang tua kita. Sampaikan pada orang tua kita sekarang, betapa kita mencintainya; dan berterima kasih atas seluruh hidup yang telah dan akan diberikannya pada kita.