26 April 2012

Koin

Tak bisakah kau berdiri tegak memperlihatkan dua sisimu?
Aku lelah memilih
Gambar atau angka?
Angka atau gambar?


Hukumnnya sudah begitu
Gravitasi menarik koin untuk menampakkan salah satu sisinya


Di balik angka ada gambar
Di balik gambar ada angka
Selalu ada sisi yang tak terlihat
Ketika memilih salah satu
Aku hanya bisa berharap, berdoa


Semoga sisi yang aku pilih benar


Karena ketika koin berdiri diantara dua sisi
Ia bisa roboh hanya karena tiupan.



24 April 2012

Biaya Nikah?


Tunangan, menikah.

Kepikiran banget untuk nulis sesuatu lagi tentang pernikahan. Absurd deh. Tadi melihat linimasa si Halabi ama Pipit, ngomongin tentang temennya mereka yang barusan nikah. Jee, pada ngiler gitu ceritanya. Saya juga ngiler, siapa sih yang nggak mau nikah kan ya?

Pada akhirnya pun, semua akan menemukan jodohnya, kalau nggak di dunia, insya Allah di akhirat ada.

Yang aku pikirkan adalah usia untuk menikah. Rasanya di beberapa post lalu aku ngebet banget yah pengen nikah muda, di usia awal 20-an. Banyak pertimbangan, ya, pertama, karena rahim-nya tuh masih dalam masa-masa bagus untuk “menyimpan”. Kedua, setidaknya aku masih kuat untuk melahirkan anak selanjutnya dalam umur yang lebih muda. Ketiga, pas anak ntar udah umur 20-an setidaknya saya nggak tuwir-tuwir (baca: tua) amat. Ke-empat, yah saya nggak mau tambah-tambah dosa lagi dengan mikir si anu, itu, situ, sini.

Setidaknya itu yang aku pikirkan. Sampai kemudian aku dan Fika menghitung-hitung biaya yang akan dikeluarkan.

Cerita ini dimulai ketika Briti mengajakku makan siang, sebelum kuliah. Tetep cantik walaupun matanya udah kayak mata panda aja. Dia sih bilang kalau dia habis kerja jadi EO nikahannya orang China. Cerita punya cerita nih, sewa wedding dress nyampe 20 juta, belum makan berupa buffet, yang mungkin ada ratusan jeti, desain pelaminan yang nyampe 50jeti. Dan lalalala. Ada dong sekitaran setengah milyar untuk resepsi yang (semoga) sekali seumur hidup itu.

Aku menyimpan cerita itu di sebuah folder dalam memori otak yang bernama “Pernikahan”.

Dalam hari itu juga, aku janjian dengan Fika untuk ketemuan, dia mau mengambil titipan parfum aroma kopi yang dia beli. FYI, aku dan Fika cinta banget yang namanya kopi. Selain untuk mood-booster, kopi juga menemani malam-malam ketika kami tenggelam dalam lautan tugas. Sekitar jam 3 sore kami bertemu, aku kasih deh parfumnya. Fika masih punya tujuan lain, yaitu mengkopi (lagi :p) serial How I Met Your Mother. Aku sambil mengerjakan business plan, ketika teringat untuk mencoba berdiskusi dengan Fika tentang cafe. Singkat cerita, karena penasaran dengan Starbucks, kami memutuskan untuk ke Amplaz dan meneliti suasana warkop mewah itu sambil menikmati segelas besar kopi :9

Kami mendapat banyak inspirasi tentang bagaimana “melepaskan” kafe sejenis Excelso dan Starbucks dari mall, karena di negara asalnya, Starbucks hanyalah kedai kopi di “emperan” jalan. Hem, maksudnya di pinggir jalan dan “lepas” dari mall. Faktor pencahayaan yang agak redup alias remang-remang, ternyata –menurut kami- adalah salah satu faktor yang membuat suasana rileks.

Cerita mulai berganti topik seiring dengan berjalannya waktu.
Ke masalah pernikahan lagi. Karena habis ujian hitung-hitungan dan aku membawa kalkulator, aku dan Fika iseng untuk menghitung biaya mewujudkan cinta sehidup-semati itu *ceileh*. Berkas di folder "Pernikahan" di memori otak pun dibuka.

Biaya persiapan sebelum nikah:
Rumah di Jogja + Furniture: 500jt
Mobil kecil : 200jt
Total: 700jt

Biaya Nikah:
Pelaminan: 50jt
Sewa baju/buat baju, make up sana-sini (?): 50jt
Makan: 200jt (wuoh, ngundang sopo jal iki?)
Biaya gedung: 75jt
Total: 375jt

Asumsi:
-  Ceteris Paribus
- Inflasi 7%
- Kedua belah pihak menabung
- Jangka waktu 5 tahun (Menikah umur 25-26)

PV= total uang/(1+bunga[inflasi])^tahun
=1075jt/(1+0.07)^5
=766.460.142
=770juta

770juta/2 à karena asumsi dua orang sama-sama nabung
=390an juta per orang.

Jangka waktu lima tahun, untuk bisa memenuhi biaya-biaya menikah itu harus menabung sebanyak:
=390juta/(12x5)
=6.500.000
=7juta/bulan

Gaji fresh graduate? Tahu sendiri kan ya berapa.

Biaya ini bisa di-minimalisir dengan beberapa cara:
- Kontrak rumah dulu lah
- Kendaraan, pake motor
- Furniture? Pake yang dibeli selama nge-kost (pas aku bicara gini, Fika ngakak abis)
- Nggak usah mewah-mewah sih resepsinya, kalau bisa juga di rumah aja :p

Gimana hitung-hitungannya? Jauh dari sempurna sih. Sebagai gambaran aja kan?

***
Kalau ngomongin tentang biaya nikah baru jadi jiper, ya kapan nikahnya? Toh rezeki itu ada aja. Tapi yang paling penting, aku juga jadi mikir-mikir nih, seenak jidat aja kemaren bersikeras mau nikah muda, padahal belum siap apa-apa kecuali aspek lahir doang. Merasa sudah mampu hanya dengan pengetahuan melayani suami yang sejengkal. Masih sering tegalau, masih punya tanggungan kuliah, belum lagi kerja. Kemaren-kemaren ngolok dalam hati kakak tingkat yang punya niatan nikah umur 30 tahun karena “tersadar” bahwa dia masih punya banyak mimpi, eh sekarang diriku baru ngeh, kalau nikah bukan hanya sekedar mau, tapi juga kemampuan mental. Bukan sekedar karena bayi itu lucu, tapi pikirkan juga ketika malaikat mungil itu nantinya akan membalik jadwal tidur, berubah menjadi jam kelelawar.

Jadinya berfikir bahwa nikah atas 25 (asal nggak nyampe 30an aja) itu nggak apa, kerja dulu.

Tapi segera ku hapuskan pikiran itu.
Kalau sudah niat kemaren, kenapa harus mental dengan hitung-hitungan? Rezeki nggak kemana, niat sudah tertanam. Tinggal berusaha memperbaiki diri dan berdo’a, bahwa niat kita itu baik, demi menjauhkan diri dari larangan Allah SWT. Toh nggak ada salahnya, menjadi istri dan ibu juga akan menjadi peran yang baru buat perempuan yang nantinya menikah. Awalnya pasti belajar. Masalah pasti ada, tapi apa yang ditakutkan ketika melakukan hal yang benar?

Yuk, nikah muda J

17 April 2012

Saya Lagi...

Random, serandom saya sekarang.
Ini hasil jepretan jam 3 pagi. Hasil liat video tutorial di youtube :D

Inget banget gara-gara selalu dibilang anak-anak karena selalu pakai kerudung yang langsung-pakai alias instant. Ada loh ya alasan di balik itu. Saya tidak suka kerudung tipis dan tidak menutupi dada. Risih rasanya, itu seperti tidak berkerudung. Jadilah seumur-umur saya pake kerudung jarang sekali pakai yang segi-empat atau pashmina. Kalaupun pakai, hanya ketika lagi good-mood. Atau ketika acara spesial :D

Ketika melihat ada cara pakai kerudung-segi-empat yang mudah dan sesuai dengan bentuk muka saya, langsung deh dicoba.



Pose Andalan :D

Well Said ...


Si Bee komentar:
"Gitu dong, kan kelihatan kayak mbak-mbak..."
"Emang selama ini apa? Mbok-mbok?"
"Bukan. Anak-anak."

=_="

Si mama juga komentar:
"Kamu coba pake kerudung segi-empat. Koq kalah sama adekmu..."

Cuma bisa ngeles... Alhamdulillah kemaren ketemu tuh kerudung yang bahannya tebal, trus cocok gitu, ama hati saya. Duileh.

Persiapan menyenangkan hati suami deh :D

16 April 2012

Lost in Solo (Part 2)

Lanjutan Part I

Jalan-jalan dilanjutkan ke Museum Batik Danar Hadi atau House of Batik Danar Hadi. Cukup berjalan kaki sekitar 10 menit dari Museum Radya Pustaka. Kalau pengen masuk, harus lewat dari showroom batik mereka. Untuk mahasiswa, dengan menggunakan Kartu Tanda Mahasiswa bisa dapat potongan, dari Rp25.000 jadi hanya Rp15.000. Lumayan buat kantong nan kering kerontang ini. Harga sepotong baju di Danar Hadi? Hem, jangan ditanya deh. Nggak cocok sama kantong mahasiswa aja pokoknya. Dari showroom, diantar mbak FO-nya untuk ke museumnya.

Awalnya aku sempat menggerutu, ya, museum apa nih 25ribuan masuknya? (walaupun udah dipotong tetep aja kan harga awalnya mahal. Tapi ketika masuk ruang museumnya, aku berhenti menggerutu. Ternyata disediakan museum-guide untuk berkeliling. Masih, di museum yang hanya aku dan Fika pengunjungnya ini, kami ditanyai lagi oleh para museum-guide: mau ngapain, dalam rangka apa, darimana. Jarang ye ngeliat orang lokal masuk ke museum?

Di museum Danar Hadi ada sekitar 11 kamar/ruang untuk memajang batik dan semua batik di dalam museum ini adalah koleksi Bapak Santosa, pemilik batik Danar Hadi. Kain-kain batik dalam museum semuanya bercerita, tentang cinta, asimilasi budaya, strata sosial, kekayaan. Wah banyak deh. Mau cerita sedikit, ah. Batik itu, awalya hanya berwarna cokelat (muda maupun tua) yang berarti tanah. Tanah dipercaya salah satu elemen pembentuk manusia. Seiring dengan perjalanan, kemudian batik berasimilasi: batik Jepang, batik China, batik Belanda, batik India. Warna batik kemudian juga mengalami banyak variasi, orang di bagian pesisir pantai banyak menggunakan warna cerah, karena rata-rata bergaul dengan pedagang yang membawa kain dari negeri asalnya.

Tujuan, jenis kelamin, dan status juga menentukan (motif) batik apa yang akan dipakai. Misalnya motif Satria Manahan, yang dipakai pria untuk melamar gadis! Ahahahaha. Yah, apalagi kalau bukan agar cintanya di terima (panah). Sedangkan untuk gadis, motifnya adalah Semen Rante, supaya ikatannya nggak lepas alias langgeng :D Ah, untuk menggambarkan bahwa gadis itu telah siap dilamar :)

Hanya sedikit yang aku ingat. Mengingat apa yang terjadi di semua ruangan hanya dalam satu jam? Mungkin hanya orang yang mempunyai ingatan fotografis.

Yang aku ingat kemudian aku dan Fika melihat proses membatik di ruang workshop, dan juga ikut membatik :D menggambar pola, memegang canthing, melihat proses batik cap, berfoto-foto. Kemudian aku teringat harga sepotong baju di showroom tadi. Well, handmade, nggak salah kalau biayanya mahal. Lagipula pekerjaann tangan memang harus dihargai, belum lagi usaha untuk menciptakan lapangan pekerjaan untuk, wah, mungkin ada ratusan pekerja yang bekerja siang itu. Satu meter kain saja butuh waktu proses yang lama agar menjadi batik yang indah. Salut deh.

Memang Solo tak lepas dari pusat batik.

Lalu aku bertanya pada guide mengapa batik dipilih UNESCO sebagai salah satu cultural heritage. Alasannya sih ada enam, tapi yang aku ingat: bahwa pemerintah telah berusaha untuk melestarikan batik dan batik telah menjadi tradisi di Indonesia (batik tulis, ya).

Aku semakin ingin keliling Indonesia dulu. Bangga-nya minta ampun deh.

Kalau gini jadi ingat Papa bercerita tentang enaknya hidup di Indonesia:

"... dimana lagi hidup bebas menjalankan agama masing-masing. Kesana-kemari luas, memang sih berat di ongkos. Banyak sekolah (PT) bagus, cari uang mudah ... Asal kau sukses..."

:D

Sebelum pulang, diriku membeli satu gantungan kunci lumba-lumba dari kain batik :D

Perjalanan masih panjang :D

12 April 2012

Tapi - Sutardji C. Bahri

        aku bawakan bunga padamu 
                                                        tapi kau bilang masih 
        aku bawakan resahku padamu 
                                                        tapi kau bilang hanya 
        aku bawakan darahku padamu 
                                                        tapi kau bilang cuma 
        aku bawakan mimpiku padamu 
                                                        tapi kau bilang meski 
        aku bawakan dukaku padamu 
                                                        tapi kau bilang tapi 
        aku bawakan mayatku padamu 
                                                        tapi kau bilang hampir 
        aku bawakan arwahku padamu 
                                                        tapi kau bilang kalau 
        tanpa apa aku datang padamu 


                                                        Wah!

7 April 2012

Enigma

Ah, baiknya ku bercumbu dengan misteri
Menggoyahkan iman
Membuat lara tak bertepi
Menembus garis masa
Mengais-ngais sekelebat bayang

Enigma: Kau

2 April 2012

Lost in Solo (Part. I)

Long weekend kemarin Nad melanjutkan resolusi tahun ini: 5 kota (+10 kota, insya Allah). Kali ini rencana mendadak ke Solo bersama Fikabu. Sebelumnya sih Nad cuman rencana sama Adel untuk ke Solo. Tapi nggak jadi karena Adel punya kelas pengganti hari Sabtu pas rencana jalan sambil nginep itu. Pas malem tanggal 23 Fika BBM Nad tanya apa Nad jadi jalan hari Jum'at, nad bilang nggak jadi. Trus Fika ajak Nad untuk pergi ke Solo hari Sabtu-nya. Yah, dengan segala keriangan hati, Nad iya-kan saja ajakan Fika itu. :D

Padahal hari Sabtu ada kuliah pengganti Sosiologi-Politik.

Tapi tawaran ke Solo dengan guide seorang yang mahfum sejarah, pastinya menyenangkan. Jadilah saya skip saja kelas berdurasi hanya 100 menit itu.

Dengan jalan-jalan sampai 12 jam.

Bangun jam setengah lima, shalat, leyeh-leyeh sebentar, trus bersih-bersih dan mandi. Ah, biasa deh, kalau mau jalan-jalan pasti deg-degan. Nggak sabar pengen ke stasiun kereta api aja. Jam 6 pas Nad dari kost, ngebut ke  Stasiun Lempuyangan, rencana naik Prameks ke Solo.

Bareng Fika.

Sampai di stasiun Lempuyangan, Nad malah sudah susun aja rencana semester depan pengen jalan-jalan ke mana aja. Keliling Jawa. Pasti menyenangkan. Masa udah berada di tanah Jawi tapi nggak pernah mengeksplor kekayaan pariwisatanya. Sejak pariwisata jadi passion Nad, keliling Indonesia rasanya jadi sedikit bagian dari mimpi Nadiyah. Sambil nunggu Fika yang belum datang, Nad melirik ke sekeliling. Pasti seru perjalanan kali ini. :)

Setelah Fika datang, kami ke loket untuk membeli tiket, harganya Rp.10.000 sekali perjalanan. Perjalanan Jogja-Solo ditempuh sekitar 45-60 menit, tergantung seberapa dalam injakan gas sang masinis untuk melajukan kereta *kereta atau mobil nih*. Ah, dasar jarang naik kereta, Nad selalu takjub, sekaligus ngejek-ngejek, kepada salah satu mode transportasi Indonesia paling tua ini. Well, rel kereta masih peninggalan Londo, kemudian kereta yang udah karatan, belum lagi jadwal yang jam karet.

Memang anak fakultas Ekonomika dan Bisnis, yang dibicarain selama nunggu kereta di peron ya sekitar transportasi Indonesia dan imbasnya pada kehidupan berekonomi Indonesia. Mulai dari mimpi untuk membangun seperti shinkansen di Jepang, sampai hanya ide untuk membuat sistem kereta api di Indonesia lebih bagus.

"Kerjaannya anak manajemen operasi, kan?" kata Fika.

Aku pun mengangguk. Iya, itu kerjaan bidang manajemen. Interdisipliner tentunya. Kami pun terdiam membayangkan kapankah saat Indonesia mempunyai shinkansen. Semoga tidak akan lama lagi dan kami masih hidup untuk melihat mimpi saat ini jadi kenyataan. Amin.

Kereta ngaret 20 menit dari jadwal yang tertera di tiket. Nggak ngaret nggak rame.

Kereta Prameks Jogja-Solo di peron dua. Emang sih naik Prameks ini untung-untungan, kalau dapat tempat duduk alhamdulillah, nggak dapat juga alhamdulillah. Semoga jadi kuat tangannya untuk pegangan erat di kereta ntar.

Masuk. Rebutan. Senggol-senggolan.

Fika udah berpengalaman, dan dia dapat tempat duduk. Aku mendapat tempat duduk karena belas kasihan dari bapak yang tak tega membiarkan aku berdiri dengan tangan yang tak dapat menjangkau pegangan di langit-langit gerbong.

Aku duduk, tapi jauh dari Fika :'(

Dan selama perjalanan diriku BBM-an dengan Onii, yang berkata bahwa Colette Valois mirip dengan Ayu Ting-Ting. Gerr.. Kereta api memang menyimpan sejuta cerita. Dari rindu, lelah, senang, cinta, dan... misteri.

Sampai di Solo, Fika langsung membuka trip-plan-nya. Pertama akan ke tiga museum yang letaknya berdekatan: Museum Radya Pustaka, Museum Danar Hadi (House of Danar Hadi), dan Museum Pers. Turun dari kereta, langsung ke terminal bis dalam kota-nya Solo. Mungkin trans-solo kali ya namanya. Tujuan Museum Radya Pustaka. Rp.3.000 seorang.

Sampai di terminal seberang museum, jadi kami harus menyebrangi jalan 4 lajur. Solo kota kecil namun jalan raya-nya 4 lajur! Balikpapan saja beluuuumm... :'( Solo termasuk kota bersih dan indah. Pedestrian atau tempat pejalan kaki-nya pun lebar dan ditanami pohon-pohon rindang. Tapi anehnya motor dan mobil pun leluasa untuk berlalu-lalang di trotoar X(

Setelah sedikit bertanya, kami mengelilingi pagar tinggi sekitar museum dan melihat beberapa patung di pagar itu. Nakula, Sadewa. Ah aku kira sepanjang pagar akan dihiasi oleh pandawa lima, dan asyik mencari sisanya, Yudhistira, Bhima, Arjuna. Ternyata tak ada =_=". Sebelum memasuki wilayah museum, ada dua meriam yang dipajang. Aku mendekatinya, dan Fika berkata, “Mau difoto, Nads?”



Nads? Iya, sejak aku selalu menambahkan ‘s’ ketika menyebut namanya, Fika juga terikut. Aku pun mengiyakan. Aku pun bergaya “Serang Belanda!” :p

“Fika, ini meriam beneran, ya?” Aku bertanya.

“Iya Nad, itu kan logam.”

Aku lalu melihat moncong meriam, berfikir berapa banyak peluru (? Atau apa sih ya? Canonball bahasa Indonesianya apa?) yang telah ditembakkan dari meriam ini. Aku tak suka perang, ah lebih tepatnya aku tak suka keadaan yang mengakibatkan menang-kalah: debat, negosiasi, perang. Hanya membuat salah satu pihak terkadang menjadi sakit hati (ada yang legawa sih) ketika kalah. Setelah bergantian berfoto-foto di meriam, kami kemudian masuk ke dalam kawasan museum.

Banyak artefak peninggalan sejarah yang aku lihat dari depan gerbang yang ditaruh di depan pagar museum: alu, lesung, gupolo (dua penjaga gerbang). Tak sabar untuk memasuki museum, kita berdua akhirnya mempercepat langkah ke gerbang masuk. Sesampainya disana, eh masih tutup. Alhamdulillah, ketika melihat jadwal, hari Sabtu bukan dalam daftar hari museum ditutup. Kami adalah pengunjung pertama! Sambil menunggu museum buka, aku memutuskan untuk melihat-lihat alu dan lesung. Aku raba permukaan alu, terlihat dari bentuknya saja aku membayangkan alat yang mereka gunakan pada zaman dahulu kala untuk mengangkatnya, dan membuatnya.

Tak lama kemudian pintu museum dibuka, walau pak penjaga loket belum disana, aku dan Fika sudah nongkrong saja disana. Tiket masuk seorang Rp2.500, dan izin untuk membawa kamera Rp5.000. Kapan ya, terakhir aku ke museum? Seperti biasa, dalam rumah Limasan ini, Gupolo selalu ada. Kemudian ada beberapa arca di luar. Ah, ada seorang dewi yang mempunyai banyak tangan, sayang aku lupa namanya, kemudian dia membawa beberapa benda di tangannya tersebut, salah satunya adalah kepala gajah, yang artinya kecerdasan. Di arca tersebut sang dewi terlihat telah mengalahkan sesuatu. Ah, mungkin aku akan kesana lagi untuk melihat nama dewi itu.

Masuk ke dalam rumah, ada seperangkat wayang. Ah, ini dia, aku tak pernah menonton Wayangan. Parah. Padahal aku sudah berada di Jawa. Kata Fika wayangan pasti disajikan dengan bahasa Jawa Kuna, yang dia sendiri kadang tak mengerti artinya. Apalagi aku. Bahasa Jawa Ngaka aja aku belum fasih. Parah, sekali lagi parah. Tak ada tercetak nama-nama di wayang tersebut, aku jadi hanya bisa mengira-ngira. Berlanjut ke tempat senjata khas Jawa: Keris dan Warangka-nya. Keris dan sarungnya. Betapa sakral-nya keris-keris dalam kehidupan orang Jawa, sehingga ada beberapa keris ketika malam 1 Sura dicuci dengan kembang tujuh rupa. Pembuat keris pun dianggap sakti mandraguna. Kita pun tahu beberapa pembuat keris, Mpu Gandring salah satunya.

Dari bagian keris ke bagian perabotan: piring dan segala macam. Piring-piring tersebut ada yang bercetakan foto, dan sebagian ada yang bertuliskan bahwa orang yang dicetak dalam foto itu adalah yang meninggal. Beberapa foto berukuran besar juga dipajang, menggambarkan kegiatan orang Solo zaman dahulu yaitu membatik, membathik lebih tepatnya. Kemudian ada guci berwarna merah yang memikat pandangku. Aku melihat guci itu dengan seksama dan membaca keterangannya: “Hadiah dari Napoleon Bonaparte”. Aku penasaran, apa Napoleon pernah ke Indonesia?

Beruntung diriku bersama orang pecinta sejarah, kemudian Fika menjelaskan: “Nggak, Nad, dia nggak pernah ke Indonesia. Well, zaman dulu, penguasa daerah-daerah kolonial kan diberi semacam hadiah begitu dari ‘atas’, yang memberikan hadiah ini, adiknya”. Dan mulutku membentuk huruf ‘o’ besar. Aku kira Napoleon pernah bertandang kemari. Walau pada zaman dulu.

Pindah ke ruang tengah yang berisikan alat musik Gamelan dan beberapa perlengkapan kerajaan, seperti baju beskap, topi tentara, alat untuk mengangkut putri, dan sebagainya. Aku hanya bisa terkagum-kagum tetapi di satu sisi juga miris. Museum ini sebenarnya ditampilkan ala kadarnya. Seperti kurang diurus. Fika bilang koleksi museum ini berkurang, karena beberapa kali dicuri. Ah, lemari untuk etalase barang-barang pun sama tuanya dengan lemari Oma. Mengapa tak diganti yang baru saja?

Beberapa orang yang melihat kami kemudian menyapa dan bertanya: darimana asalnya, mengapa kemari, dari jurusan apa. Ya kami jawab saja kami dari Jogja, dari UGM; kemari karena ingin lebih mencintai budaya sendiri (duile...) dan dari jurusan IE dan Manajemen. Sepertinya mereka heran dengan dua gadis muda yang berkeliaran di museum. Indonesia pula. Mungkin yang biasa meramaikan museum ini adalah turis asing dan kunjungan dari anak-anak SD yang ribut namun tidak mendengarkan, dan beberapa heran mengapa kami dari ekonomi masuk ke museum, mereka menebak bahwa kami dari jurusan Sejarah, dan ke museum untuk mengerjakan tugas.

“Kalau bukan kami, Pak, siapa lagi yang mencintai budaya Indonesia?”

Lanjut ke bagian belakang museum, yang dipenuhi arca dan miniatur-miniatur bangunan. Rumah Limasan (semuanya simetris! Baik bentuk bangunannya, peletakan pilar dalamnya dan sebagainya), Astana Imogiri (aku selalu merujuk pada Astana Giribangun-nya pak Harto!  Ya, ya, ya... Kuburan raja-raja berundak dan mempunyai tangga menanjak yang sangaaaaaaat panjang, setiap ketinggian menandakan seberapa tinggi jabatan mereka di zaman terdahulu. Aku hanya bisa mengucap waw lagi) dan menara pertahanan (lima lantai, segi lima, untuk pasukan memanah!). Sambil aku melihat-lihat, Fika menjadi tour guide yang handal, menjelaskan setiap bangunan, fungsinya dan makna dari bentuk tersebut. Beberapa peninggalan juga seperti mata uang yang dulu dipakai dalam perdagangan di zaman kerajaan. Halaman belakang dipenuhi arca yang bagian-bagiannya tak lengkap dan beberapa prasasti, seperti Ganesha yang tidak mempunyai belalai. =_=”

Balik ke dalam baru Fika menjelaskan tentang Gamelan dan cara memainkannya. Fika yang pernah ikut Karawitan fasih menjelaskan satu-satu. Ah, coba saja pelajaran sejarah semenarik ini. Pasti akan melekat di otak. Beberapa yang Fika jelaskan adalah tentang perjanjian Linggajati, politik adu domba Belanda yang berusaha memecah belah kekuatan Indonesia. Akh. Saat itu belum ada kata “Indonesia”, yang ada adalah pribumi dan asing. Jika aku hidup pada zaman dahulu, apa yang aku perbuat? Ketika berada di ruang tengah, fantasi-ku muncul lagi, bagaimana kalau dulu, ruangan ini sebenarnya adalah ruang untuk berdansa, kemudian untuk pertemuan Meneer-meneer, perdebatan, pertengkaran, romantisme (halah). Ya, rumah ini adalah saksi bisu.

Puas melihat, kami ke perpustakaan. Banyak naskah kuno, namun kami tidak diizinkan untuk membukanya. Masih ada inventarisasi katanya. Aku hanya mengangguk-angguk saja. Penjaga perpustakaannya membantu kami untuk memilih buku yang akan kami gunakan. Kemudian sambil beliau mencarikan buku tentang batik dan buku tentang kebudayaan Jawa. Ada beberapa halaman tentang kepercayaan orang Jawa, misalnya tentang anak-anak yang perlu "treatment" khusus atau diruwat/dibersihkan agar tidak diambil oleh Batara Kala dan hidup menderita atau sukerta, salah satunya adalah anak laki-laki tunggal yang disebut Ontang-Anting. Belum lagi yang namanya kembar perempuan, empat bersaudara perempuan semua atau lelaki semua... Banyak pantangannya :|

Kebudayaan Jawa selalu menarik bagiku, baik dari aspek bahasa, mata pencaharian (psstt... para Priyayi menganggap berdagang adalah suatu hal yang rendah, sehingga mereka menjauhi pesisir, hidup di tengah kota/daratan dan hidup dari pajak tanah! *CCM story*), seni, agama (Kejawen), ah, tak habis-habis jika terus digali dan dibuat suatu buku. Bahkan buku berbahasa Belanda yang kami temui, yang membahas tentang tanah, rakyat dan kehidupan orang Jawa pun terdiri lebih dari dua puluh jilid. Ensiklopedi menurutku.

Sehabis dari perpustakaan, kami pun bersiap menuju tempat selanjutnya. Museum Batik Danar Hadi. Sampai kemudian aku melihat dua patung setengah badan dari pemilik rumah yang kemudian menjadi museum ini. Mereka ditempatkan di tengah dan memandang jauh ke luar museum.

Kami akan melanjutkan kebudayaan ini :)

*fotonya nanti ya :D tunggu Fika :D