Lama tidak menulis. Tunggu sebentar, saya mau membuat alasan:
1. Sibuk kuliah dan mengerjakan tugas
2. Sibuk kerja
3. Sibuk bermalas-malas ria
4. Sibuk menonton drama Korea
5. Sibuk memikirkan apa yang ingin ditulis
6. Tidak ada ide untuk menulis
Namanya juga alasan, sesuatu yang dibuat untuk alas, membenarkan semua perilaku.
Bingung? Saya juga.
***
Sebenarnya tidak ada alasan untuk tidak menulis dan seharusnya saya HARUS lebih giat menulis melihat rekor jumlah tulisan yang turun setiap tahunnya; menandakan tingkat kemalasan yang terus meningkat setiap tahun.
Namun karena sebuah artikel di majalah tentang bahasa Indonesia, saya menjadi tergerak untuk menuliskan sesuatu. Judul artikel itu:
"Nasib Bahasa Indonesia: Sudahkah Bahasa Ini Menjadi Tuan di Negeri Sendiri?"
Artikel tersebut membahas tentang pemakaian bahasa Indonesia yang semakin kacau dan hanya sebagian orang mau bersusah payah membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Tesaurus Bahasa Indonesia untuk menaati kaidah berbahasa yang benar. Belum lagi masalah bahasa Indonesia yang semakin tersingkir karena penuturnya lebih memilih untuk menggunakan bahasa asing agar terlihat lebih bergengsi. Masalah selanjutnya adalah kesulitan padanan bahasa asing, terutama bahasa Inggris, ke bahasa Indonesia karena perbedaan jumlah perbendaharaan kata dalam bahasa Indonesia, dan jangan lupa: tingkat kesulitan dalam mempelajari bahasa Indonesia.
Beberapa tugas kuliah mengharuskan saya untuk menerjemahkan jurnal ilmiah ke dalam Bahasa Indonesia yang baik dan benar agar dapat dirangkum dengan menggunakan kalimat yang saya buat sendiri. Karena bukan termasuk orang yang mempunyai kosakata bahasa Indonesia yang banyak, maka saya sempat beberapa kali harus memutar otak untuk menerjemahkan beberapa kalimat, seperti: "... the nature of business itself..." Saya sempat menerjemahkan kalimat itu menjadi: "... sudah menjadi sifat alami bisnis itu sendiri..," tetapi kemudian saya merasa janggal, sehingga saya kutip saja keseluruhan kalimat tersebut. Begitu juga ketika harus menerjemahkan istilah-istilah ekonomi ke dalam bahasa Indonesia dan ketika harus menyerap beberapa kata dalam bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. Ragu, apakah kata yang saya serap ini sudah ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Teringat juga tugas seorang dosen agar mencari padanan kata "efektif" dan "efisien". Saya menjawab "tepat waktu" dan "tepat guna". Ternyata ada yang lebih sepadan, "mangkus" dan "sangkil"! Belum lagi berbicara tentang bahasa gaul. Kata-kata yang sedang populer akhir-akhir ini, "Ciyus?", "Miapah?", "Enelan?" seakan-akan menjadi gaya bertutur bahasa yang harus dipakai. Gaya bicara seorang balita ini diadopsi menjadi bahasa gaul dan, menurut saya, akan merusak pemakaian bahasa Indonesia itu sendiri walaupun hanya sekedar tren sesaat.
***
Saya merasa kurang membaca buku-buku yang ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar sehingga merasa asing dengan bahasa Indonesia. Dulu, ketika masih menjadi "Anak Bahasa", saya rajin menyambangi perpustakaan daerah untuk membaca buku kumpulan artikel bahasa dari Kompas. Artikel-artikel tersebut membahas hal-hal seperti kesalahan berbahasa, kata yang seharusnya dipakai, perbandingan antara bahasa Indonesia dengan bahasa lain, sejarah suatu kata, dan sebagainya. Membosankan? Tidak, sama sekali tidak. Buku tersebut seakan memuaskan dahaga saya akan bahasa yang saya pakai sehari-hari: Bahasa Indonesia. Saya jadi rajin untuk mengoreksi bahasa yang dipakai teman-teman: China, bukan Cina; Orang Indonesia bukan Indon; tidak ada kata 'Pemimpin' tetapi 'Pimpinan'.
Mencoba bertutur dan menulis memakai bahasa Indonesia yang baik dan benar menjadi tantangan tersendiri bagi generasi muda Indonesia. Contoh terdekat di lingkungan saya: kedua adik saya. Semua nilai ujian tiap semester mereka di mata pelajaran pengetahuan alam, sosial, bahasa Inggris selalu di atas sembilan, tetapi ketika pelajaran bahasa Indonesia, yang tercetak di lembar nilai adalah angka tujuh. Miris. Jangan lupakan saya sendiri: tulisan di blog ini rata-rata memakai bahasa campur-aduk. Karena tertohok oleh artikel yang saya baca tadi, saya kemudian memutuskan untuk menulis sesuatu dalam bahasa Indonesia, yang mungkin, sedikit baik dan benar.
***
Kemudian, apa yang harus dilakukan agar bahasa Indonesia menjadi tuan di rumah sendiri? Alih-alih menjadi tuan di rumah sendiri, sang empunya rumah pelan-pelan diusir. Arus globalisasi yang semakin besar membuat tata bahasa Indonesia semakin centang perenang, berantakan. Dalam satu kalimat terkadang pembicara menyisipkan beberapa kata dalam bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya, sehingga terdengar, aneh. Tetapi bagi orang yang sudah biasa mendengar (atau malah sering melakukan hal itu) kalimat-kalimat campur, hal tersebut adalah biasa.
Hal yang dapat dilakukan untuk dapat menjadikan bahasa Indonesia menjadi tuan di rumah sendiri adalah dengan berusaha untuk selalu memakainya dengan baik dan benar, walau terkadang terdengar repot. Saat menyajikan tugas di depan dosen, berusahalah untuk bertutur menggunakan kalimat tanpa kata bahasa asing. Rajin membuka kamus untuk menghafal kata baru dan memakainya dalam kalimat. Belajar bahasa apapun hal yang pertama kali harus dilakukan adalah menghafal perbendaharaan kata. Tidak mungkin untuk mempelajari bahasa Anda langsung mempelajari tata bahasa tanpa kosakata. Terakhir, miliki rasa bangga terhadap bahasa Indonesia. Menilik negara-negara tetangga, Korea, China dan Jepang yang bersikeras untuk memakai bahasa nasional mereka sendiri dalam bahasa pengantar di perguruan tinggi negara sehingga mau tidak mau kita lah yang harus mempunyai kompetensi dalam berbahasa negara tujuan agar dapat mengikuti kuliah. Mereka bangga atas bahasa mereka, menggunakannya dengan baik dan benar dan tidak merasa bahasa Inggris sebagai bahasa terhormat yang harus dipuja-puja sehingga meninggalkan akar bahasa mereka sendiri.
Susah? Siapa yang bilang bahasa Indonesia mudah? Kita hanya merasa mudah karena sudah bertutur bahasa Indonesia sejak bisa berbicara. Kemudian, bagaimana dengan penutur bahasa daerah yang bahkan tidak tahu bahasa Indonesia?
"KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGJOENJOENG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA"
Bukanlah hal yang mudah untuk berjanji menggunakan bahasa Melayu (akar bahasa Indonesia) untuk menjadi bahasa persatuan bangsa Indonesia. Pasti banyak yang susah menggunakan bahasa Indonesia dalam keseharian mereka. Untuk itulah ada pelajaran bahasa Indonesia di sekolah, walaupun tidak bisa bergantung sepenuhnya kepada sekolah. Menurut saya, biarlah hal tersebut menjadi keberagaman budaya. Negeri ini punya pemuda-pemudi hebat yang akan berusaha untuk bertutur dengan bahasa persatuan tanpa meninggalkan bahasa daerahnya.
Jangan pesimis! Ayo dudukkan sang Tuan di rumah sendiri! :)
No comments:
Post a Comment