26 Desember 2012
Ketika malang melintang tak karuan selama 3 bulan antara
Sepinggan-Adisutjipto.
Lama tak bercerita soal bandara, kemudian saya teringat
postingan lama berjudul hampir sama.
***
Kalau sudah di bandara, saya merasa orang paling filosofis
di dunia, mengalahkan filsuf sekelas Socrates, Plato, Aristotel dan sejenisnya
lah. Seperti kebanyakan orang mendapatkan inspirasi di kamar mandi, saya
mendapatkan inspirasi di bandara. Sepertinya Sepinggan adalah, hem, saksi saya
tumbuh dewasa? Alamak. Seberapa sering sih saya di bandara?
Kemudian sambil menyeruput kopi bikinan barista warung kopi
ternama di dunia, saya memandang ke luar dan menarikan lagi jari-jari saya.
***
Perjalanan pertama saya memakai pesawat terbang adalah
ketika berumur 18 bulan. Terbang bersama papa-mama ke Palembang untuk
melanjutkan perjalanan ke kampung tercinta bapak saya, Pagaralam. Jaket jingga,
pesawat Buroq. Ah, bahkan karena sudah terlalu lama saya lupa ejaannya. Bouraq.
Ya, itu dia. Saking dinginnya, saya “dililit” berbagai macam jenis kain supaya
hangat. Tak lupa foto dalam pesawat. Self-camera
shoot ternyata sudah populer.
Kemudian, Sam-Ratulangi mengantarkan saya ke tahap
selanjutnya: berpergian sendirian. Kelas 6 SD, sehabis merantau dari pulau
Sulawesi, saya pulang. Dandan cantik, memakai baju warna kesukaan saya, biru,
rambut habis dipotong gaya bob, sepatu baru, saya siapkan diri. Terbayang diri
harus mengambil bagasi, kemudian berjalan angkuh dari pesawat ke terminal
kedatangan. Ah, apa yang ingin saya bicarakan? Di dalam pesawat hati tak
menentu karena yang terbayang hanyalah memeluk mama setelah sekian lama tak
bertemu. Sepinggan pun menanti saya, melihat saya yang telah berubah menjadi
gadis yang siap masuk SMP.
SMP? Soekarno-Hatta menjadi tujuan saya kali ini. Pergi ke
Bandung untuk jalan-jalan sebelum bertemu id Fitri. Terbayang bandara megah
seperti itu, di Sepinggan saya selalu mengingat-ingat wajah kakak sepupu yang
lama tidak terlihat. “Ce’ Vivi akan menjemput di bandara.” Kalimat itu menjadi
mantra yang selalu diucapkan Papa. Ah, berpergian sendiri lagi. Kebiasaan
mengetukkan kaki tiga kali sampai di tempat tujuan juga menjadi kebiasaan,
sugesti agar selalu bisa ke tempat yang sama. Aku ingin kembali ke Jakarta lagi
:D
Cukup lama tidak bertemu Sepinggan, kecuali mengantarkan
keluarga, sampai akhirnya kelas 3 SMA, Adi-Sutjipto menjadi tempat tujuan: bandara
dengan runway terpendek yang pernah menjadi tempat tujuanku. Jogja, dengan
segala hiruk pikuknya. Bandara yang sebenarnya cukup membuatku pusing setelah
Sepinggan edisi lama. Nomor gerbang yang tidak tercantum dalam tiket, kemudian
mata yang harus selalu waspada akan jadwal penerbangan.
Sepinggan mengantarku untuk memulai perjalananku. Sepinggan
juga selalu menungguku. Sepinggan juga selalu bertumbuh, seiring dengan
banyaknya jumlah perjalananku.
***
Kulayangkan pandang ke luar jendela, ku hirup udara dingin
itu. Bau bandara.
Aku yakin kau menganggapku aneh atas semua cerita tentang
bandara ini, entah kau akan mengertinya.
Bau garam laut bercampur di udaranya, Sepinggan. Namun jujur
aku lupa bau Sam-Ratulangi seperti apa.
Pemandangan gunung berselimut awan, bau-bau pohon dan
rumput: Adi Sutjipto.
Asap, polusi. Bau menyengat dan aura sekeliling yang
menyesakkan namun bercampur dengan ke-elegan-an bandara sibuk: Soekarno Hatta.
Angin kering yang menerpa, bau gurun yang khas dan
palem-palem melambai: King Abdul Aziz.
Namun tetap saja aku akan kembali ke Sepinggan. Seperti
sebuah checkpoint bagi pemain game: mengisi energi, menuliskan perjalanan,
menetapkan starting point, sebelum pergi lagi untuk mengembara dan
memperbaharui equipment untuk menuju level selanjutnya. Dengan bantuan Wizard
dan Coach.
*untuk energi perjalanan selanjutnya*
No comments:
Post a Comment