22 January 2013

Glance on The Sky #2 (Sepinggan Airport)


26 Desember 2012

Ketika malang melintang tak karuan selama 3 bulan antara Sepinggan-Adisutjipto.

Lama tak bercerita soal bandara, kemudian saya teringat postingan lama berjudul hampir sama.
***

Kalau sudah di bandara, saya merasa orang paling filosofis di dunia, mengalahkan filsuf sekelas Socrates, Plato, Aristotel dan sejenisnya lah. Seperti kebanyakan orang mendapatkan inspirasi di kamar mandi, saya mendapatkan inspirasi di bandara. Sepertinya Sepinggan adalah, hem, saksi saya tumbuh dewasa? Alamak. Seberapa sering sih saya di bandara?

Kemudian sambil menyeruput kopi bikinan barista warung kopi ternama di dunia, saya memandang ke luar dan menarikan lagi jari-jari saya.
***
Perjalanan pertama saya memakai pesawat terbang adalah ketika berumur 18 bulan. Terbang bersama papa-mama ke Palembang untuk melanjutkan perjalanan ke kampung tercinta bapak saya, Pagaralam. Jaket jingga, pesawat Buroq. Ah, bahkan karena sudah terlalu lama saya lupa ejaannya. Bouraq. Ya, itu dia. Saking dinginnya, saya “dililit” berbagai macam jenis kain supaya hangat. Tak lupa foto dalam pesawat. Self-camera shoot ternyata sudah populer.

Kemudian, Sam-Ratulangi mengantarkan saya ke tahap selanjutnya: berpergian sendirian. Kelas 6 SD, sehabis merantau dari pulau Sulawesi, saya pulang. Dandan cantik, memakai baju warna kesukaan saya, biru, rambut habis dipotong gaya bob, sepatu baru, saya siapkan diri. Terbayang diri harus mengambil bagasi, kemudian berjalan angkuh dari pesawat ke terminal kedatangan. Ah, apa yang ingin saya bicarakan? Di dalam pesawat hati tak menentu karena yang terbayang hanyalah memeluk mama setelah sekian lama tak bertemu. Sepinggan pun menanti saya, melihat saya yang telah berubah menjadi gadis yang siap masuk SMP.

SMP? Soekarno-Hatta menjadi tujuan saya kali ini. Pergi ke Bandung untuk jalan-jalan sebelum bertemu id Fitri. Terbayang bandara megah seperti itu, di Sepinggan saya selalu mengingat-ingat wajah kakak sepupu yang lama tidak terlihat. “Ce’ Vivi akan menjemput di bandara.” Kalimat itu menjadi mantra yang selalu diucapkan Papa. Ah, berpergian sendiri lagi. Kebiasaan mengetukkan kaki tiga kali sampai di tempat tujuan juga menjadi kebiasaan, sugesti agar selalu bisa ke tempat yang sama. Aku ingin kembali ke Jakarta lagi :D

Cukup lama tidak bertemu Sepinggan, kecuali mengantarkan keluarga, sampai akhirnya kelas 3 SMA, Adi-Sutjipto menjadi tempat tujuan: bandara dengan runway terpendek yang pernah menjadi tempat tujuanku. Jogja, dengan segala hiruk pikuknya. Bandara yang sebenarnya cukup membuatku pusing setelah Sepinggan edisi lama. Nomor gerbang yang tidak tercantum dalam tiket, kemudian mata yang harus selalu waspada akan jadwal penerbangan.

Sepinggan mengantarku untuk memulai perjalananku. Sepinggan juga selalu menungguku. Sepinggan juga selalu bertumbuh, seiring dengan banyaknya jumlah perjalananku.

***
Kulayangkan pandang ke luar jendela, ku hirup udara dingin itu. Bau bandara.

Aku yakin kau menganggapku aneh atas semua cerita tentang bandara ini, entah kau akan mengertinya.

Bau garam laut bercampur di udaranya, Sepinggan. Namun jujur aku lupa bau Sam-Ratulangi seperti apa.

Pemandangan gunung berselimut awan, bau-bau pohon dan rumput: Adi Sutjipto.

Asap, polusi. Bau menyengat dan aura sekeliling yang menyesakkan namun bercampur dengan ke-elegan-an bandara sibuk: Soekarno Hatta.

Angin kering yang menerpa, bau gurun yang khas dan palem-palem melambai: King Abdul Aziz.

Namun tetap saja aku akan kembali ke Sepinggan. Seperti sebuah checkpoint bagi pemain game: mengisi energi, menuliskan perjalanan, menetapkan starting point, sebelum pergi lagi untuk mengembara dan memperbaharui equipment untuk menuju level selanjutnya. Dengan bantuan Wizard dan Coach.

*untuk energi perjalanan selanjutnya*

No comments: