21 June 2011

Cinta part II

Sekarang kita berada di India. Kau keluarkan kameramu untuk memotret Taj Mahal kala senja. Memang indah, dan lambang cinta seorang manusia kepada wanitanya. Tak lekang oleh waktu. Taj Mahal memantulkan warna lembayung, dan dirimu menangkap momen itu. Aku memandangimu. Akankah dirimu mengenangku, membangunkan istana untukku? Akankah dirimu mencintaku sebesar cinta Raja kepada istrinya Mumtaaz Mahal? Mein thumse pyaar karti hoon.
Kau menggeleng, dan lagi-lagi tersenyum.
Dalam perjalanan ke China, aku tak lepas menggenggam tanganmu. Hanya satu tujuanku. Aku ingin kau tahu seberapa besar cintaku padamu. Dan kita akan ke Great Wall of China. Yes, satu-satunya bangunan yang terlihat dari bulan! Kau hanya tertawa kecil mendengarkan penjelasanku. Tapi, perlu kau tahu cintaku tak sebesar tembok besar ini. Ya, tak sebesar bangunan , yang bahkan, bisa dilihat dari bulan! Hanya, cintaku lebih besar dari itu. Aku mencintaimu lebih besar, pun lebih dalam dari Palung Mariana yang ada di Filipina itu. Wo tai ai ni, wo de ai. Ni ai wo ma?
Mungkin aku harus membawamu ke Paris, Prancis, sehingga kamu dapat membisikkan kata itu untukku. Di kota cinta ini, di malam penuh gemerlap cahaya lampu. Kita berdua berdiri di bawah keangkuhan Menara Eiffel. Menjulang tinggi ke angkasa, kau lagi-lagi hanya menyilangkan jari tanganmu ke jari-jari tanganku. Menarikku dalam rangkulanmu, mengusap punggungku pelan. Ah, dengan begitu saja aku merasakan kelegaan yang amat sangat. Kau tahu, je t’aime, mon amour. Namun adakah kau mencintaiku seperti aku mencintaimu?
Kemudian kita melanjutkan perjalanan, menyusuri sungai Rhein. Tanpa kata, tanpa suara. Hanya mendengar air yang mengalir perlahan. Mendengar percakapan dalam bahasa asing yang tak ku ketahui. Adakah kamu mengerti apa yang mereka bicarakan? Tapi khusus untukmu, aku telah mempelajari kata dalam bahasa Jerman ini, dan kupersembahkan untukmu: Ich liebe dich, fur immer. Aku mencintaimu, selamanya. Kau ingat kisah tembok Berlin? Memisahkan antara Jerman Barat dan Jerman Timur. Para anggota keluarga tidak saling mengetahui dimana keberadaan masing-masing, pun tahu, terkadang mereka terpisahkan tembok itu. Hanya bisa menangis karena kesempatan untuk bertemu teramat kecil. Tapi sayang, tidaklah satu saat pun aku ingin terpisahkan seperti itu. Maut memang memisahkan raga, tapi tak dengan hatiku.

2 comments:

Anonymous said...

Nadiyaaaaah.......kamu jadi pengarang novel aja. udah cocok tuh. aku dukung..... Semangaaad!!! ;)

Nadinez Chicylia said...

waahhh makasihhh yaa semangatnyaa :))