After calling me last nite.
Entah apa kau akan membacanya atau tidak.
Selalu, ketika aku kira aku berhasil, kau datang dan memporak-porandakan semua yang susah payah aku bangun, susah payah aku sembuhkan dengan linangan air mata yang sengaja aku tahan demi menumbuhkan kekuatan dalam diriku. Mengangkat dagu dan bertingkah seolah pongah hanya untuk menutupi ketidakberdayaanku untuk menghadapimu, melupakanmu.
Kau, kelemahan terbesarku. Aku tak bisa tak luluh ketika mendengar suaramu, tawamu. Persamaan kita berdua. Aku benci malam itu aku makan mie ayam, begitu pun juga kau berkata. Seakan kau tahu apa yang aku lakukan, aku rasakan dan sebenarnya aku memanggil namamu, dalam khayalku. Aku memasang kamera, dihatimu. Itu yang pernah kau katakan kepadaku. Aku tak suka dengan manisnya ucapanmu. Aku tak suka karena aku suka itu. Aku benci ketika aku harus berkompromi dengan hatiku bahwa aku ingin sekali bertemu denganmu. Tapi logika berjalan dan mengatakan aku akan hancur kalau aku melakukan itu. Saatnya belum tepat.
Aku yakin, kau yang kutemui dan aku kenal bukanlah dirimu yang sekarang. Biarlah aku hidup dengan pelan-pelan men-sugesti otakku agar mengaburkan seluruh memori tentangmu. Memformat ulang ingatan empat tahun kebelakang dan hanya mengambil pelajarannya. Sudah ku katakan bukan tidak ada yang sia-sia di dunia? Ya, bertemu denganmu membuatku belajar agar hanya memberikan sayang kepada orang yang benar-benar serius denganku.
Ku teguhkan pendirianku. Aku tak mau lagi menyembah cintamu. Hidup berjalan dan kau hanyalah bab ke sekian dari buku hidupku.
Jika dia kembali menjadi pemain dalam bab selanjutnya, Tuhan, tolong pastikan aku sudah kuat menghadapinya. Bukan seorang aku yang emosional, temperamental dan masih terluka karena cinta. Karena cinta, tak seharusnya melukai.
If Love were Mathematics
Then a lover will multiply happiness to infinite
Divide sadness until negligible
Add conviction until intacted
Less the doubt until depleted
No comments:
Post a Comment