24 April 2012

Biaya Nikah?


Tunangan, menikah.

Kepikiran banget untuk nulis sesuatu lagi tentang pernikahan. Absurd deh. Tadi melihat linimasa si Halabi ama Pipit, ngomongin tentang temennya mereka yang barusan nikah. Jee, pada ngiler gitu ceritanya. Saya juga ngiler, siapa sih yang nggak mau nikah kan ya?

Pada akhirnya pun, semua akan menemukan jodohnya, kalau nggak di dunia, insya Allah di akhirat ada.

Yang aku pikirkan adalah usia untuk menikah. Rasanya di beberapa post lalu aku ngebet banget yah pengen nikah muda, di usia awal 20-an. Banyak pertimbangan, ya, pertama, karena rahim-nya tuh masih dalam masa-masa bagus untuk “menyimpan”. Kedua, setidaknya aku masih kuat untuk melahirkan anak selanjutnya dalam umur yang lebih muda. Ketiga, pas anak ntar udah umur 20-an setidaknya saya nggak tuwir-tuwir (baca: tua) amat. Ke-empat, yah saya nggak mau tambah-tambah dosa lagi dengan mikir si anu, itu, situ, sini.

Setidaknya itu yang aku pikirkan. Sampai kemudian aku dan Fika menghitung-hitung biaya yang akan dikeluarkan.

Cerita ini dimulai ketika Briti mengajakku makan siang, sebelum kuliah. Tetep cantik walaupun matanya udah kayak mata panda aja. Dia sih bilang kalau dia habis kerja jadi EO nikahannya orang China. Cerita punya cerita nih, sewa wedding dress nyampe 20 juta, belum makan berupa buffet, yang mungkin ada ratusan jeti, desain pelaminan yang nyampe 50jeti. Dan lalalala. Ada dong sekitaran setengah milyar untuk resepsi yang (semoga) sekali seumur hidup itu.

Aku menyimpan cerita itu di sebuah folder dalam memori otak yang bernama “Pernikahan”.

Dalam hari itu juga, aku janjian dengan Fika untuk ketemuan, dia mau mengambil titipan parfum aroma kopi yang dia beli. FYI, aku dan Fika cinta banget yang namanya kopi. Selain untuk mood-booster, kopi juga menemani malam-malam ketika kami tenggelam dalam lautan tugas. Sekitar jam 3 sore kami bertemu, aku kasih deh parfumnya. Fika masih punya tujuan lain, yaitu mengkopi (lagi :p) serial How I Met Your Mother. Aku sambil mengerjakan business plan, ketika teringat untuk mencoba berdiskusi dengan Fika tentang cafe. Singkat cerita, karena penasaran dengan Starbucks, kami memutuskan untuk ke Amplaz dan meneliti suasana warkop mewah itu sambil menikmati segelas besar kopi :9

Kami mendapat banyak inspirasi tentang bagaimana “melepaskan” kafe sejenis Excelso dan Starbucks dari mall, karena di negara asalnya, Starbucks hanyalah kedai kopi di “emperan” jalan. Hem, maksudnya di pinggir jalan dan “lepas” dari mall. Faktor pencahayaan yang agak redup alias remang-remang, ternyata –menurut kami- adalah salah satu faktor yang membuat suasana rileks.

Cerita mulai berganti topik seiring dengan berjalannya waktu.
Ke masalah pernikahan lagi. Karena habis ujian hitung-hitungan dan aku membawa kalkulator, aku dan Fika iseng untuk menghitung biaya mewujudkan cinta sehidup-semati itu *ceileh*. Berkas di folder "Pernikahan" di memori otak pun dibuka.

Biaya persiapan sebelum nikah:
Rumah di Jogja + Furniture: 500jt
Mobil kecil : 200jt
Total: 700jt

Biaya Nikah:
Pelaminan: 50jt
Sewa baju/buat baju, make up sana-sini (?): 50jt
Makan: 200jt (wuoh, ngundang sopo jal iki?)
Biaya gedung: 75jt
Total: 375jt

Asumsi:
-  Ceteris Paribus
- Inflasi 7%
- Kedua belah pihak menabung
- Jangka waktu 5 tahun (Menikah umur 25-26)

PV= total uang/(1+bunga[inflasi])^tahun
=1075jt/(1+0.07)^5
=766.460.142
=770juta

770juta/2 à karena asumsi dua orang sama-sama nabung
=390an juta per orang.

Jangka waktu lima tahun, untuk bisa memenuhi biaya-biaya menikah itu harus menabung sebanyak:
=390juta/(12x5)
=6.500.000
=7juta/bulan

Gaji fresh graduate? Tahu sendiri kan ya berapa.

Biaya ini bisa di-minimalisir dengan beberapa cara:
- Kontrak rumah dulu lah
- Kendaraan, pake motor
- Furniture? Pake yang dibeli selama nge-kost (pas aku bicara gini, Fika ngakak abis)
- Nggak usah mewah-mewah sih resepsinya, kalau bisa juga di rumah aja :p

Gimana hitung-hitungannya? Jauh dari sempurna sih. Sebagai gambaran aja kan?

***
Kalau ngomongin tentang biaya nikah baru jadi jiper, ya kapan nikahnya? Toh rezeki itu ada aja. Tapi yang paling penting, aku juga jadi mikir-mikir nih, seenak jidat aja kemaren bersikeras mau nikah muda, padahal belum siap apa-apa kecuali aspek lahir doang. Merasa sudah mampu hanya dengan pengetahuan melayani suami yang sejengkal. Masih sering tegalau, masih punya tanggungan kuliah, belum lagi kerja. Kemaren-kemaren ngolok dalam hati kakak tingkat yang punya niatan nikah umur 30 tahun karena “tersadar” bahwa dia masih punya banyak mimpi, eh sekarang diriku baru ngeh, kalau nikah bukan hanya sekedar mau, tapi juga kemampuan mental. Bukan sekedar karena bayi itu lucu, tapi pikirkan juga ketika malaikat mungil itu nantinya akan membalik jadwal tidur, berubah menjadi jam kelelawar.

Jadinya berfikir bahwa nikah atas 25 (asal nggak nyampe 30an aja) itu nggak apa, kerja dulu.

Tapi segera ku hapuskan pikiran itu.
Kalau sudah niat kemaren, kenapa harus mental dengan hitung-hitungan? Rezeki nggak kemana, niat sudah tertanam. Tinggal berusaha memperbaiki diri dan berdo’a, bahwa niat kita itu baik, demi menjauhkan diri dari larangan Allah SWT. Toh nggak ada salahnya, menjadi istri dan ibu juga akan menjadi peran yang baru buat perempuan yang nantinya menikah. Awalnya pasti belajar. Masalah pasti ada, tapi apa yang ditakutkan ketika melakukan hal yang benar?

Yuk, nikah muda J

3 comments:

nidya karenyna said...

aku ngakak jungkir balik ce
baca postingan ini...:))

Anonymous said...

Senpaiii~~ jangan lupa undang aku!!! :-)

Moga cepet-cepet nikah pai... *tulus lho ini nulisnya*

meiimud said...

meii suka endingnyaa >_<