Ah, lagi-lagi galau. Galau lagi-lagi.
Seharusnya nih sodara-sodara sekalian. Saya menghadap komputer untuk mengerjakan tugas MIS, dan sekarang saya hanya termangu, diam, dan akhirnya memutuskan untuk menulis blog.
Yeah, udah empat semester terlewati dan proposal untuk belajar di luar negeri tertolak, ditolak oleh bapak nan ganteng rupawan itu. Padahal udah rencana banget sih di semester lima ini saya akan nekat untuk ikutan beasiswa ataupun exchange. Tapi senekat-nekatnya saya, kalau nggak ada ridho orang tua mah saya juga jiper. Yang terdekat kemaren sih beasiswa or exchange universitas se-ASEAN itu loh. Syaratnya lumayan mudah sih untuk dilengkapi, yang nggak mudah itu dapat restu orang tua. Akhirnya setelah 75% syarat saya persiapkan, termasuk universitas mana yang diinginkan, saya menawarkan proposal ke-lima.
Ke-lima.
Selama lebih dari 4 semester dan hampir tiap semester mencoba merayu orangtua.
Waktu yang tepat saya tunggu untuk muncul. Si bapak habis makan, saya beserta berkas-berkas saya. Lebih tepatnya berkas saya masih ada di kamar, tapi sudah dipersiapkan. Kalau bapak mau liat berkasnya, bisa langsung dikasih. Tinggal tunggu persetujuan. Ketika beliau lagi kipas-kipas badan, saya bertanya:
"Pak, pak. Inez mau ikut exchange atau beasiswa ke luar boleh nggak?"
Salah tanya. Pertanyaan yang mengintimidasi sebenarnya adalah:
"Pak, pak. Inez boleh ikut exchange ya kan?"
Tapi jurus itu udah dipakai empat kali, jadi yang ke-lima harus berbeda.
"Mau ngapain kau, Nak?"
Nadanya bukan meremehkan, bukan juga mengintimidasi, hanya bertanya.
Namun jawaban serta kata-kata diplomasiku tertelan bersama ludah. Seribu satu alasan yang aku pikirkan sejak bulan Maret hilang dengan sempurna di satu hari di bulan Agustus. Lima bulan berlatih dan mempersiapkan segalanya runtuh, tuh, tuh. Kewibawaan yang mungkin aku dapatkan seratus tahun lagi.
"Belajar di luar negeri, Pak."
Sekitar sepuluh detik terdiam dan yang suara yang masuk di telinga hanya tawa cekikikan dari tiga adikku.
"Nez..."
Aku merasa telah melewati sekian ratus abad.
"Nez, kau anak ekonomi. Hitung-hitunglah dulu. Apa sih tujuan kau sebenarnya untuk ke luar itu? Bla... Blaa... Blaa..."
Sudahlah. Aku sudah tahu jawaban itu. Untung sudah aku persiapkan bendungan disekitar sudut-sudut mataku agar airmata tertampung. Kemudian tak lagi ku dengar nasihat-nasihat bapakku. Kemudian yang terdengar adalah tentang tanggungjawab. Kemudian yang terasa hanyalah beban di pundak. Kemudian yang tertinggal hanyalah asa, sedikit asa untuk terus berdo'a.
Yang kemudian aku renungkan lagi.
Kamu mau ngapain?
Apa sih alasan yang membuat saya sebegitu desperadonya ingin berada di luar Indonesia? Jalan-jalan? Menikmati dunia yang berbeda dengan yang sekarang? Bertemu orang baru? Memperluas jaringan?
Iya, saya mau semua itu.
Tapi ada yang lebih.
Setidaknya ketika belajar di luar, saya akan menantang diri saya untuk bertahan hidup, berbicara dengan bahasa lain, dan berteman. Kemudian memperkenalkan Indonesia, dan balik ke Indonesia membawa segudang ide.
Mulai dari kecil aku menghapalkan lagu-lagu dari Sabang sampai Merauke beserta artinya, menghapal peta dunia, belajar bahasa, sampai masuk jurusan Bahasa untuk melengkapi bekal. Mempelajari lagu daerah? Iya, siapa tahu mereka terhibur.. :P Presentasi tentang Indonesia? Siapa takut?
Hanya itu?
Percayalah, semakin banyak bergaul dan menyambung silaturahmi makin besar rezeki yang didapatkan, Insya Allah. Also, experience is priceless.
Oke, masterplan sudah dirubah, dan tampaknya saya akan kembali ke cita-cita lama saya, dan tujuan saya untuk masuk jurusan Bahasa kemarin:
Jadi istri diplomat.
No comments:
Post a Comment